Tuesday, May 16, 2006

Arsenal dan Mimpi Osama bin Laden

Tidak ada salahnya kita melihat klub Arsenal dari sudut pandang yang lain. Klub yang akan bertanding malam nanti memperebutkan Piala Champion 2006, dan ini merupakan kali pertama tim ini melaju sampai kebabak Final kejuaran Champion. Klub yang bermarkas di utara kota London ini didirikan tahun 1886. Awalnya bermarkas ditenggara kota London dan pindah ke utara sejak tahun 1913. Di musim kompetisi mendatang Klub ini akan menempati stadion baru yang diberi nama Emirates Stadium, menggantikan Highbury yang selanjutnya akan berganti menjadi kompleks apartemen mewah.

Klub yang memiliki fans yang unik, beberapa diantaranya bahkan pembuat sejarah dengan cara yang kontroversial.

Bukannya tanpa alasan apabila seorang Sheikh Usamah bin Muhammad bin Ladin atau Osama bin Laden amat menyukai Arsenal. Bahkan, ada kemungkinan ia akan membelinya. Sayangnya sejarah berbelok ke arah lain setelah dia dinyatakan sebagai orang yang paling dicari di dunia.

Banyak yang menduga-duga kenapa Bin Laden bisa sampai menyukai Les Rouges of London. Ada yang berteori salah satunya soal kesamaan prinsip. Siapa pun tahu, atau setidaknya baru ngeh mengingat logo klub yang telah 13 kali jadi juara Inggris itu jelas: sebuah kanon yang mengarah ke timur. Meriam, dalam arti konteks apa pun amat jelas, sebagai alat pembunuh massal, ”The Gunner”.

Secara militeristik, Arsenal juga berarti gudang atau tempat penimbunan senjata. Sebutan gampangnya, gudang peluru. Apakah Bin Laden kepincut dengan jargon pada logo lama Arsenal: Victoria Concordia Crescit, kemenangan berkembang dari harmoni?

FBI dan CIA sudah pasti memasukkan salah satu hobi pimpinan Al Qaedah ini dengan soccer, bukan football, istilah orang Amerika untuk sepak bola.

If you can work it out in London, you can work it out in the world. Jadi, Bin Laden cukup pergi ke London untuk mengetahui isi dunia. Pada awal tahun 1994, pria kelahiran Riyadh 10 Maret 1957 itu menghabiskan waktu tiga bulan di London. Ada dua misi yang dilakukan: pertama, sebagai bankir dan pengusaha kelas kakap, ia banyak bertemu klien bisnisnya. Kedua, yang menarik, meski sibuk Bin Laden tak melupakan agenda ”The Gunners” di Premiership dan Piala Winner Eropa.

Menurut BBC, anak ke-17 dari 57 putra Sheikh Muhammad Bin Laden ini sempat menonton kemenangan David Seaman, Anthony Adams, Paul Merson, dan kawan-kawan di perempatfinal dan semifinal. Pada 15 Maret 1994, lima hari usai merayakan ulang tahunnya yang 37, Bin Laden berada di Highbury kala Arsenal mengalahkan Torino 1-0 lewat gol Tony Adams.

Tepat selang dua pekan, lelaki berdarah Yaman ini kembali berada di Clock-End. Pada tahun 1994 itu, bayangkanlah, orang yang kini paling dicari-cari oleh Amerika Serikat dan ditakuti dunia Barat berada di Clock-End.

Bukan itu saja. Seorang penjaga The Gunner Shop, pusat penjualan seluruh suvenir Arsenal yang bersebelahan dengan Highbury, mengaku ingat betul ”pria Arab dengan aksen aristokrat dan berwajah terhormat dengan syal ”The Gunners” di leher, membeli empat kaus Arsenal untuk anak-anaknya.”

Anehnya, sewaktu Bin Laden sedang getol-getolnya menonton langsung, tidak ada faktor paling signifikan yang mengharuskan ia menyenangi Arsenal. Kostum? Strategi permainan? Atau sosok pelatihnya? Jika ukurannya sebuah unsur fanatisme pun, jawabannya kurang kuat.

Dua bulan setelah tragedi 911, peristiwa peruntuhan World Trade Center di New York pada 9 September 2001, seorang petinggi Arsenal jadi salah tingkah. ”Ya, ya, kami juga sudah baca di koran- koran”, katanya dengan gugup di hadapan para wartawan.”

Arsenal menjadi salah satu klub paling kontroversial di dunia soal pendukungnya. Michael Moore, tokoh Hollywood yang gencar menyerang kebijakan agresif pemerintahan George Bush ini, merupakan salah satu fannya.

John Gotti, pimpinan terakhir klan mafia Bambino di New York, selalu memastikan ada majalah Arsenal setiap bulan di mejanya. Juga Zhou En-Lai, PM China tersohor. Ketika ia wafat pada tahun 1976 dalam usia 78 tahun, suatu hari The Mirror membuat berita utama berjudul ”Arsenal lose a supporter”. Namun, tokoh paling sensasional kedua yang menjadi fan ”The Gunners” setelah Bin Laden, bisa jadi adalah Fidel Castro.

Pada pernyataan terbukanya pada dunia, tepat dua bulan usai pengeboman New York, dalam transkrip video berbahasa Arab, Bin Laden bilang bahwa ilhamnya muncul dari sepak bola. ”Saya lihat dalam mimpi, kami akan bertanding sepak bola dengan Amerika. Lalu saat berada di lapangan, seluruh anggota tim kami berubah menjadi pilot. Saya bertanya-tanya, ini sebuah pertandingan sepak bola atau pertandingan pilot? Seluruh pemain kami pilot,” akunya.

Lalu U.S Department of Defense yang dikelola duet Donald Rumshfeld dan asistennya, Paul Wolfowitz, sadar bahwa mimpi tersebut telah diejahwantahkan pimpinan Al Qaedah itu. Bukankah pemusnahan dua menara yang menjadi simbol ekonomi AS ini diawali oleh aksi pilot, dikenal dengan nama Abu Al-Hasan, yang menabrakan pesawat jumbo jet-nya?

Masih dalam transkrip itu, Bin Laden amat gembira melihat keruntuhan WTC itu seperti menyaksikan gol dalam sepak bola. "Saya melihat dalam tayangan TV bagaimana sebuah keluarga di Mesir bersorak-sorak kegirangan melihat keruntuhan itu. Tahukah Anda perasaan dalam sepak bola ketika tim kesayangan anda menang?" begitulah cara Bin Laden membuat gol ke gawang Amerika.

Seperti halnya politik, dari sepak bola sering timbul nafsu kolektif yang diperlihatkan para diktator, revolusioner atau oligarkis. Dunia diajarkan bagaimana Joszef Stalin mampu mempertahankan kekuasaan dengan menaruh kepala polisi rahasianya, Lavrenti Beria, sebagai presiden klub Dynamo Moskva.

Usamah bin Laden atau Osama bin Laden menurut lidah Barat, adalah pencinta Arsenal dengan status die-hard. Saksi mata yang sempat mendengar diskusi Bin Laden dengan seseorang di Highbury, mengatakan,” betapa dia mencintai Arsenal, tahu banyak dan siap berkorban. Amat disayangkan ia keburu jadi buronan Amerika.” Ya, mengapa ia tak mendamaikan dunia dengan sepak bola?

Bisa dibayangkan jika skenario besar terjadi sekarang ini di English Premier League. Chelsea dipunyai Abramovich, seorang Yahudi dan Arsenal dibeli Bin Laden, Arab. Perebutan kekuasaan di ibu kota Inggris antara Arsenal dengan Chelsea kini membagi London menjadi dua warna, merah dan biru.

Perseteruan inilah yang mengilhami seorang wartawan lulusan fakultas psikologi Oxford, Chris Cleave, membuat novel super geger: Incendiary. Cerita fiktif ini mengambil setting pada tahun 2008 tentang pengeboman The Emirates Stadium saat berlangsung partai Arsenal vs Chelsea. Ketika Robin van Persie tengah bersiap menceploskan bola ke gawang Petr Cech, tiba-tiba muncul ledakan di tribun East Stand.

Bom bunuh diri yang dilakukan 11 orang rekrutan Al Qaedah menewaskan 1.000 orang, mayoritas suporter The Gunners. Ribuan lainnya cedera. Beberapa pemain kedua tim juga tewas. Banjir darah di mana-mana. Banyak pendukung Chelsea yang dibunuhi pendukung Arsenal. Di tengah kekacauan tak terperi itu, segerombolan pendukung kedua klub terlibat baku hantam gara-gara: memperebutkan sebuah kepala seorang pemain top yang putus akibat ledakan!

Keruan saja Incendiary bikin heboh Inggris, terutama kubu Arsenal dan Chelsea. Apalagi peluncurannya bertepatan dengan tragedi 7/7, yakni pengeboman London 7 Juli 2005 lalu. Sontak, kantor penerbit novel seharga 10,99 poundsterling itu pun didemo partisan ”The Gunners”.

Cerita Incendiary memang diawali oleh kisah seorang wanita, pendukung Arsenal yang setengah mati membenci Chelsea. Setelah suami dan anaknya yang berusia empat tahun tewas akibat ledakan, ia menulis surat kepada Osama bin Laden, ”Yang terhormat Osama. Saya ingin menjadi seorang ibu terakhir di dunia yang pernah menulis surat seperti ini, ibu yang telah kehilangan putranya….”

Misi novel ini membawa pesan langsung kepada Bin Laden agar menghentikan aksinya. ”Yang saya tulis memang kisah teror, sebab apa yang terjadi sebenarnya juga tentang cinta. Teror mengingatkan kita pada kemanusiaan, pembangkangan kehidupan dan tuntutan mencintai sesama dengan lebih intens. Saya masih ingat pernyataan Osama yang tak mau menjatuhan bom bila melihat anak kecil,” ungkap Cleave.

Menurut The Economist, novel berbau teror massal ini lebih membumi realitanya di Inggris ketimbang karya Nevil Shute, On the Beach dan kisah sejenis yang terjual 55 juta eksemplar di seluruh dunia, End of Days karangan Tim LaHaye.

(Arief Natakusumah, wartawan)

5 comments:

Anonymous said...

Nice! Where you get this guestbook? I want the same script.. Awesome content. thankyou.
»

Anonymous said...

Very pretty site! Keep working. thnx!
»

Anonymous said...

Interesting site. Useful information. Bookmarked.
»

Anonymous said...

Very pretty design! Keep up the good work. Thanks.
»

Anonymous said...

Your are Excellent. And so is your site! Keep up the good work. Bookmarked.
»