Wednesday, March 30, 2011

Hari ke – 4, ” Dari BT 95-12’-59.03”/LU 05-54’-21.99 menuju BT 141-1’-10”/LS 8-25’-45” *, Akhir sebuah Perjalanan ”



* Batas Wilayah RI yang tertulis di Km 0 Kota Sabang dan Perbatasan RI-PNG di Desa Sota Merauke


Jam setengah delapan kami sudah melapor ke Bandara meski keberangkatan jam 10 nanti. Hal ini untuk menghindari kejadian pergantian penumpang oleh oknum petugas maskapi mengingat hari-hari menjelang Natal dan Tahun Baru seperti ini lonjakan penumpang sangat tinggi. Ini terbukti ketika penerbangan ku yang seharusnya menggunakan pesawat MZ 791 diganti menggunakan MZ 872 yang untung nya lebih dahulu berangkat. Sesudah urusan check in beres Bang Ronnie dan aku berpisah karena dia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan administrasi terkait pensiunnya.


Kurang lebih jam sembilan, pesawat Merpati yang akan membawaku ke Jayapura mendarat. Di lambung pesawat terdapat tulisan ”I IZAKOD BEKAI, IZAKOD KAI”, berasal dari bahasa Marind yang artinya Satu Hati, Satu Tujuan , tulisan ini merupakan slogan kota Merauke. Hampir semua pesawat Merpati yang mendarat di Merauke di lambungnya tertulis slogan tersebut.


Perbandingan Tiket

Ada hal yang menarik terkait perjalanan menuju tempat-tempat terpencil di Nusantara, dimana Merauke salah satunya. Secara harga sama bahkan lebih murah dan jauh lebih nyaman berkunjung ke luar negeri dibandingkan ke ujung Nusantara.

Sumber www.garudaholidays.com :

• 3D2N HONGKONG , start from USD 385

• 3D2N SAIGON, start from USD 361

• 5D3N MELBOURNE, start from USD 745

• 4D3N PERTHm start from USD 566

Rate are inclusive :

• Air ticket return economy class from Jakarta

• Accomodation

• Travel Insurance

Sumber pengalaman pribadi (1 USD = Rp 9.500):

• Ticket Makassar – Nabire, start from USD 568

• Ticket Biak – Nabire, start from USD 252 ( 45 mnt flight with twin otter)

• Ticket Jayapura – Nabire , start from USD 547 (1.45 hours flight)

• Ticket Balikpapan – Merauke, start from USD 652

Rate are inclusive :

• Air ticket return without accommodation


Perhatikan, ongkos pesawat (tidak termasuk hotel) dari Balikpapan ke Merauke masih lebih mahal dibandingkan perjalanan Jakarta Perth(termasuk hotel selama 3 malam). Ini yang membuat pelancong domestik lebih memilih berwisata ke Singapore, Australia atau pun Hongkong ketimbang ke Sabang, Lembah Baliem atau pun Pulau Banda di Maluku.


Tetapi buat rekan yang menikmati perjalanan budaya, wisata yang masih alami serta mau sedikit susah, membayar mahal dan mengurangi kenyamanan dengan mengunjungi pelosok Nusantara, sebanding dengan pengalaman yang didapatkan.


Penutup

Tepat pukul 09.30, penumpang MZ 872 dipanggil ke pesawat menuju Jayapura. Transit di Jayapura pukul 11.00 Witim, sekitar 11.30 setelah janjian sebelumnya ditelepon aku akhirnya bertemu dengan teman yang telah 21 tahun tidak bertemu, Abdul Raji serta teman yang kemarin mengantarkan aku ke Bandara, Abdul Jalil. Pesawat lepas landas meninggalkan Jayapura menuju Biak pada pukul 15.30. Dalam pesawat menuju Biak terlintas perjalanan berikutnya, hmmm Koh Samui, Lhasa atau Umbria?

[Selesai]

Hari ke – 3, ” Merauke, Surga Kecil yang Jatuh di Bumi*”




*)Diambil dari judul Kompas online tanggal 25 September 2009


Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Itu adalah petikan syair lagu berjudul ”Aku Papua”. Merauke adalah bagian dari surga itu. Sebuah kabupaten di bagian selatan Papua seluas 4,5 juta hektar dan berpenduduk sekitar 300.000 orang.


Pagi ini sesudah mandi dan tanpa sarapan kami melaju menuju batas paling timur Republik ini yang terletak di Desa Sota. Sebelumnya kami singgah sebentar ke kantor untuk mengambil ban cadangan dan dongkrak mengingat tujuan kami adalah keluar kota dengan jarak tempuh kurang lebih delapan puluh kilo meter. Seperti sebelumnya, bang Ronnie menjadi sopir dan aku menjadi navigator, daerah yang pertama kami temui adalah, Taman Nasional Wasur.


Taman Nasional Wasur

Perjalanan sepanjang Taman Nasional Wasur berlangsung lancar tanpa halangan. Disepanjang perjalanan kurang lebih dua kali kami berhenti untuk mengangkut orang yang hendak menumpang mobil pick up kami, murah hati, memiliki pribadi yang hangat serta banyak bicara itu lah Bang Ronnie, sehingga setiap orang yang menghentikan mobil pickup kami untuk meminta tumpangan pasti akan dikabulkan Bang Ronnie. Disepanjang lintasan aku melihat tanah gundukan setinggi 2 – 7 meter di tepi jalan. Tanah gundukan tersebut bukanlah gundukan tanah belaka, melainkan merupakan rumah-rumah semut yang dibangun bertahun tahun. Penduduk disekitarnya menyebutnya “Musamus”. Rumah semut ini menjadi symbol semangat bagi masyarakat setempat.


Keanehan TN Wasur, sekitar 70 persen dari luas kawasannya berupa vegetasi savanna, sedang lainnya berupa vegetasi hutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bamboo, padang rumput, dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi antara lain, apai-api (Avicenia sp), tancang (Bruguiera sp)Ketapang (Terminalia sp), dan kayu putih (Melaleuca sp).


Sedangkan satwa yang sering dijumpai disini, seperti, Kanguru pohon, Kesturi Raja, Kaswari Gelambir, Dara Mahkota/Mambruk, Cindrawasih Raja, Cindrawasih Merah, Buaya air tawar, dan buaya air asin. Sayangnya satwa ini sudah semakin jarang ditemui karena diburu oleh penduduk dan oknum Militer dan Polisi yang digunakan sebagai makanan atau cinderamata.


Salah satu daerah yang tak kalah menariknya di TN Wasur ini, Danau Rawa Biru. Disini berbagai jenis satwa seperti burung migrant, Walabi, dan Kasuari sering dating dan menghuni di Danau tersebut. Danau ini sering disebut “Tanah Air”karena ramainya berbagai kehidupan satwa - satwa.


Sota, Tapal Batas Republik Indonesia

Melewati TN Wasur, kami menjumpai tugu kembar yang merupakan kembaran tugu yang sama yang terletak di Kota Sabang!! Tetapi kami terus melaju karena tujuan utama kedatangan aku ke Merauke adalah melihat daerah paling timur Indonesia, setelah pada bulan Maret tahun ini aku berkunjung ke Km 0, daerah paling barat yang terletak di kota Sabang. Mendekati tugu perbatasan Republik Indonesia dan Papua New Guinue (PNG) kami menjumpai Pos Imigrasi perbatasan yang dijaga oleh anggota Kopassus berpakaian preman. Setelah melapor sebentar kami meneruskan perjalanan dan akhirnya menemui markas Infantri yang menjaga daerah Perbatasan PNG-RI di Desa Sota Merauke. Komandan Kompinya masih mudah, berusia dua puluhan tahun, karena suasana perbatasan yang relatif kondusif Komandan Kompi dan anak buahnya yang baru berdinas satu bulan diperbatasan ini mengisi hari-hari mereka dengan bercocok tanam. Kebetulan Pasukan Infantri yang berdinas di daerah perbatasan ini berasal dari Nabire. Sepintas terlihat wajah anggota pasukan Komandan Iman adalah para tentara muda dan mungkin belum pernah bertempur.


Kami berhenti untuk melapor karena ini merupakan kantor Pemerintahan resmi yang paling dekat dengan daerah perbatasan. Kami juga perlu tahu apakah daerah perbatasan aman untuk dikunjungi atau tidak. Kami berbincang beberapa saat dan mereka kelihatan gembira karena ada orang dari kota yang mengunjungi mereka. Satu hal saja yang membuat mereka sedih karena tidak ada sinyal handphone di daerah tersebut, tidak seperti daerah perbatasan lain di Papua : Jayapuran dan Tanah Merah, kedua tempat ini sudah terjangkau sinyal handphone. Sedih karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan anak dan istri di era telekomunikasi ini. Ketika kami pamit karena harus ke daerah perbatasan, Komandan Iman memerintahkan salah satu anak buahnya mengawal kami. Seumur hidup baru kali ini aku jalan didampingi pengawal bersenjata otomatis dengan peluru yang siap ditembakkan.


Hanya beberapa menit dari Pos terakhir tentara tersebut kami akhirnya sampai dititik paling Timur Republik ini yang ditandai plat besi tanda tera daerah perbatasan yang diakui dunia internasional serta disampingnya ada tugu yang tertulis koordinat yang tertera di plat besi itu : 141 1’ 10” E dan 08 25’ 45” S. Rasa-rasanya tombol rana Kamera tidak berhenti aku tekan karena senangnya aku bisa sampai daerah perbatasan yang telah kuidam-idamkan sejak lama. Sekeliling tugu perbatasan itu dibuat taman sehingga terlihat lebih cantik. Yang menarik berdekatan dengan tugu tersebut terdapat rumah semut yang bernama Musamus. Kurang lebih 30 menit kami berada di perbatasan kemudian Bang Ronnie memanggilku agar segera bergerak ke lokasi lainnya menuju Kampung Urumb untuk mengunjungi tempat persembunyian bang Ronnie kala stress, Pantai Urumb.


Kami pun bergegas menuju ke kota, tetapi sebelumnya singgah sebentar untuk mengantar kan pengawal kami serta berpamitan dengan Komandan Iman. Tidak lupa kami juga singgah di tugu kembar yang dibuat dua buah. Satu dipasang di kota Sabang dan satu lagi di kota Merauke. Kami mengambil beberapa foto di lokasi tugu tersebut. Dalam hati aku berujar betapa beruntungnya aku karena pernah mengunjungi dua tugu kembar tersebut.


Kampung Urumb

Kurang lebih dua jam kami habiskan dijalan dari daerah perbatasan menuju Kampung Urumb. Menuju Kampung Urumb, kami melewati Jembatan Desa Kuprik yang merupakan jembatan terpanjang di Papua. Lebar sungainya melebihi sungai Mahakam di Samarinda. Karena sudah lapar, dalam perjalanan kami berhenti untuk membeli Nasi Bungkus dan menyantapnya pada siang hari terik jam 1 siang, dipinggir jalan menuju Kampung Urumb yang berdebu dibawah sinar matahari yang terik tanpa pelindung! Kami tidak enak apabila makan di Kampung Urumb karena Cuma membeli dua bungkus makanan.


Sampai di Kampung Urumb, bang Ronnie lantas memanggil saudara-saudaranya dari pinggir jalan untuk menemani kami menuju ke Pantai. Kami pun berjalan kaki kurang lebih sejauh satu kilometer menuju pantai dengan ditemani Kris, salah satu keponakan bang Ronnie. Hal yang mengesankan, ketika sampai dipantai Bang Ronnie kemudian meminta bantuan warga Kampung Urumb yang berada di pantai utk menjaring ikan ke laut agar kami makan. Selorohnya, saya ada bawa tamu penting jadi kalian harus cari ikan untuk tamu ini. Kami pun menuju pinggiran laut untuk memasang jaring penangkap ikan. Kurang lebih satu jam dengan tiga kali menarik jaring akhirnya kami dapat cukup banyak udang dan ikan yang seukuran telapak tangan anak kecil. Bahkan pada tarikan jaring yang kedua kami mendapat anak Pari dan kepiting yang berukuran besar. Ikan dan udang yang paling enak adalah, ikan dan udang yang segar yang baru ditangkap, rasanya pasti gurih dan manis. Setelah udang tersebut selesai direbus kami pun pesta udang dengan minuman air kelapa muda!


Sekitar jam empat lebih beberapa menit kami memutuskan pergi dari pantai menuju mobil yang diparkir cukup jauh dari kantor. Setelah puas berputar-putar di Kampung Urumb, kurang lebih pukul lima lewat kami pun meninggalkan pantai menuju kota.


Malam Terakhir di Merauke

Sampai dirumah, Bang Ronnie berubah menjadi koki, memasak udang tepung segar yang manis rasanya, dan aku kebagian memasak nasi. Sesudah makan malam di rumah, kami ke kantor untuk mengecek email yang masuk serta info terbaru yang berhubungan dengan pensiun dini Perusahaan kami. Bang Ronnie sudah memutuskan untuk pensiun lebih awal karena ingin beristirahat dan berkumpul dengan keluarganya di Surabaya.


Mamat di Sabang dan Bang Ronnie Rober Oei di Merauke, dua sahabat yang membuat perjalanan ku menjadi luar biasa. Berwisata sambil melebur dengan kebudayaan warga setempat adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan dan tidak dapat dibeli dengan uang. Karena kita bertemu dengan orang-orang seperti ini bukan melalui travel agent, tetapi kebanyakan karena pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja atau melalui sahabat yang tinggal di daerah wisata tersebut.


Karena seharian melakukan perjalanan, malam ini kami tidur lebih cepat karena kelelahan, jam sembilan malam bang Ronnie sudah tidur, aku menrapikan barang-barang karena besok pagi harus melanjutkan perjalanan menuju Biak.


Hari ke – 2, ”Pelai* ! Sampai juga ke Merauke”







*) : ungkapan seperti Jancuk di Surabaya atau anjir di Bandung yang sudah dianggap tidak kasar, sehingga digunakan dalam percakapan sehari baik pria mau pun wanita. Kata2 ini banyak digunakan oleh orang-orang di Merauke.


Semua anak yang SD di Indonesia pada jaman aku (tidak tahu jaman sekarang) pasti tahu dan hapal lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Beberapa tahun lalu, lagu tersebut, khususnya larik pertama, sempat "dikomplain" oleh Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze. Menurutnya, waktu terbit matahari di Merauke dua jam lebih awal dibandingkan dengan munculnya sang surya di bagian Barat wilayah Indonesia. Tetapi banyak orang menyebut bentang wilayah RI dari Sabang hingga Merauke, bukan sebaliknya. Karena seharusnya kita menyebut yang awal dulu baru akhir, lebih tepat apabila syairnya dari Merauke sampai Sabang, kata beliau !!


Untuk diriku agak berbeda, karena kota yang pertama kali aku kunjungi adalah Sabang, pada bulan Maret 2009 yang lalu, sementara Merauke baru ku kunjungi hari ini, sehingga lebih tepat kalau menyebutnya “Dari Sabang Sampai Merauke”. Perjalanan yang sudah kurencanakan kurang lebih dua tahun yang lalu. Aku pernah punya pemikiran bahwa sebelum aku melakukan perjalanan dengan biaya sendiri ke negara lain, sebaiknya terlebih dahulu mengunjungi Sabang dan Merauke. Hari ini keinginan itu pun menjadi kenyataan.


Kedatanganku di Bandara Mopah Merauke disambut oleh rekan baik aku eks teman kantor di Balikpapan, yang pindah ke kota ini dan menjadi kepala kantor disini, bang Ronnie Robert Oei. Dia adalah lelaki China peranakan Irian yang lahir dan besar di Merauke, dan kembali ke Merauke sejak tahun 2007 sesudah hampir 28 tahun bekerja di luar Merauke. Dengan dijemput mobil pickup kantor, dari Bandara kami menuju rumah Bang Ronnie untuk meletakkan tas dan mengganti baju. Kemudian kami langsung melaju menuju Pantai diujung Landasan Mopah menemui saudara sepupu Bang Ronnie yang tinggal didaerah itu.


Kaget juga sampai disana, kurang lebih ada 10 lelaki dewasa sedang duduk mengelilingi para-para ditepi pantai, sambil menenggak minuman keras yang terbuat dari tunas buah Kelapa yang sudah difermentasi. Awalnya minum-minum berjalan biasa-biasa saja, mereka bergantian menenggak ¼ gelas Sopi (nama minuman keras itu) dari gelas yang sama yang dibagikan oleh bandar. Kemudian datang seorang lelaki lain ke group tersebut utk bergabung. Masalahnya lelaki yang datang terakhir ini terlalu banyak bicara karena sudah mabuk terlebih dahulu sebelum ketempat kami. Tempat mereka minum-minum adalah rumah peristihatan nelayan tradisional si tuan rumah yang juga Cina peranakan beristri orang Papua, Pak Faiku nama nya. Pak Faiku baru saja mendapat uang dari project menanam bakau dipantai Ujung Mopah, sehingga mereka pun pesta miras. Dalam kumpulan itu, ada juga Pak Moses yang berasal dari suku Marind, salah satu suku asli Merauke. Beliau adalah tuan tanah yang baru-baru ini mendapat ganti rugi tanah adat sebesar 2 milyar dan dalam proses untuk mendapat ganti rugi berikutnya atas tanah yang akan digunakan sebagai perluasan bandara sebesar 6 milyar !


Kembali ke kerumunan orang mabuk tadi, akhirnya sang tamu ribut dengan tuan rumah tempat kami berkunjung. Tuan rumah, Cina peranakan yang badannya penuh tatto yang juga mabuk ini pun marah, mengeluarkan parang nya yang cukup panjang. Buat orang yang baru datang di Papua pasti kaget tetapi buat yang sudah lama di Papua pasti pernah menyaksikan hal ini, orang kejar-kejaran menggunakan parang atau jubi (tombak). Hehe seram juga pada awalnya, orang mabuk dengan senjata tajam, kita tidak bisa menduga arah pikirannya, apalagi keduanya mantan residivis. Cara terbaik adalah bersiaga dan sedikit menjauh dari kerumunan itu.


Menarik rasanya melihat sekumpulan orang Papua dari kalangan bawah sedang berbagi minuman keras dan minum bersama-sama. Pada akhirnya akan ada yang berkelahi karena sudah sama-sama mabuk. Menyaksikan peristiwa ini, rasa-rasanya aku sudah sah berada di Papua. Untungnya tidak terjadi perkelahian besar, karena ada rekan Polisi Militer yang mendamaikan mereka. Yang menyedihkan dari saudara-saudara yang suka mabok di Papua, adalah taraf hidup mereka pastinya akan selalu dibawa garis kemiskinan.


Kurang lebih dua jam mereka berkumpul ditempat tersebut akhirnya satu persatu bubar dan kami kemudian pindah lokasi ketempat yang lain, karena Bang Ronnie sudah janjian akan bertemu dengan teman-teman masa kecilnya.


Bang Ronnie baru saja mendapat tanah pembagian dari Pak Moses si tuan tanah. Tanah seluas hampir seribu meter persegi letaknya persis di pinggir Pantai Ujung Mopah. Ditempat itu bang Ronnie membuat pondok tempat beristirahat dan beberapa kali mengundang teman-temannya pada hari libur untuk berkumpul di pondok tersebut. Kali ini rombongan yang kami temui adalah rombongan yang berbeda 180 derajat dengan sebelumnya. Sekumpulan orang Cina perantauan yang sudah lahir dan besar di Merauke. Mereka pada umumnya adalah pemilik toko besar di kota Merauke, jumlahnya 4 keluarga yang datang dengan membawa anak-anaknya. Tempat kami pun menjadi ramai. Pak Deki teman SD bang Ronnie mengatakan, mereka lebih suka ketempat ini karena tempatnya lebih sepi dan tidak diganggu oleh pedagang seperti dipantai lainnya.


Menyenangkan menyaksikan dua kelompok yang berbeda pada hari yang sama. Dengan mengobrol dengan kedua kelompok ini, rasa-rasanya jadi tahu atmosfir budaya dikota ini. Kota Merauke, jauh lebih aman buat pendatang dibandingkan kota-kota lain di Papua. Dari bang Ronnie aku juga tahu bahwa Cina peranakan yang telah ada sejak jaman Belanda dulu, mampu berasimilasi dengan penduduk asli sehingga diterima dan dianggap saudara oleh mereka. Boleh dibilang semua warga Cina yang datang pada jaman Belanda ke Papua diterima dengan baik dan berasimilasi dengan warga Papua, entah dikota, Merauke, Sorong. Yang terkenal karena wanitanya berparas cantik-cantik – adalah warga keturunan Cina dari Pulau Serui. Mereka biasanya berayah atau beribu orang Papua. Dalam hal pertikaian dengan penduduk asli hampir tidak pernah kedengaran, karena keturunan yang ketiga dan keempat sekarang ini sudah dianggap sebagai orang Papua.


Hari ini diawali dengan wisata budaya di kota Merauke. Ini membuat jiwa semakin kaya. Sesudah makan malam, aku dibawa Bang Ronnie menyusuri kota Merauke yang benar-benar datar dan rata. Semua jalan besar kami jalani, menarik memperhatikan infrastruktur awal yang dibangun Belanda. Kota Merauke adalah kota berpasir, tidak ada batu dikota ini dengan permukaan datar dan hampir sejajar dengan Laut tetapi ketika hujan besar tidak pernah banjir. Oleh insinyur Belanda, dipinggir jalan utama yang mereka bangun dibangun kanal-kanal sehingga ketika laut pasang tidak akan menggenangi kota tetapi masuk melalui kanal-kanal tersebut. Peninggalan itu masih terlihat sampai sekarang. Hampir sama dengan jalan di kota Palangkaraya yang lurus, lebar, datar dan siku 90 derajat kota Merauke pun begitu. Hanya ada satu bagian jalan kurang lebih panjang jalan itu 5 meter, dalam bentuk gundukan setinggi dua meter yang sering disebut penduduk setempat gunung. Jadi kalau mau naik gunung dikota Merauke lewati saja jalan raya yang bergunduk itu maka anda sudah sampai dipuncak Gunung kota Merauke!


Hari ke – 1, ”Kemilau Lampu Jayapura di Waktu Malam”

Pesawat mendarat di Sentani pada pukul 07.15. Ini kali kedua aku ke Jayapura sesudah kunjungan pertama kurang lebih delapan tahun yang lalu. Tidak beberapa lama sesudah mengaktifkan handphone, Abdul Jalil sahabat sejak SD di Nabire menghubungi aku, memberi tahu bahwa dia sedang menunggu di luar. Sesudah menunggu bagasi kurang lebih 45 menit, kami pun berangkat menuju ke kota. Tepat di depan Bandara Sentani, terdapat makam pemimpin besar Papua Bapa Theiss. Beberapa hari yang lalu, salah seorang pemimping Organisasi Masyarakat Papua, Kelly Kwalik baru meninggal, sehingga sekelompok massa mendirikan tenda di kuburan Bapa Theis serta menempelkan spanduk dengan tulisan “Natal dalam suasana Duka”, dalam hati aku hanya bisa berharap semoga tidak ada keributan lagi dikarenakan peristiwa tersebut.


Perjalanan dari Pelabuhan udara Sentani menuju Jayapura akan melewati kota Abepura. Sebelum kota Abepura, kami melewati pesisir Danau Sentani yang indah. Tidak seperti Danau di daerah lain yang lebih besar, Danau ini merupakan wisata alam yang masih alami yang belum banyak dirusak oleh bangunan-bangunan hotel atau pemukiman penduduk yang tidak teratur. Akan lebih indah menyaksikan pemandangan Danau Sentani di pagi hari, ketika kabut masih belum benar-benar hilang dan terang masih terang tanah (matahari belum benar-benar keluar). Oh ya bukankah saat terbaik menyaksikan pemandangan setiap danau atau telaga rasa-rasanya pada waktu seperti itu, atau beberapa saat sesudah matahari terbenam dimana langit masih berwarna dramatis merah dan kuning. Jika diperhatikan, sekitar Danau Sentani dikelilingi oleh bukit-bukit Savana yang ditumbuhi alang-alang dan rumput. Tempat yang cocok untuk memelihara ternak, tapi sayangnya tidak ada peternakan disekitar situ. Karena Jalil harus buru-buru ke kantor untuk berdinas jam 10 pagi, kami tidak berlama-lama menikmati pemandangan Danau Sentani.


Jarak Sentani ke Abepura kurang lebih belasan kilometer, Jalil mengusulkan menginap di Abepura supaya keesokan paginya lebih mudah dijemput karena penerbanganku pukul 07.00 Witim, artinya kami harus sudah di Bandara pada pukul 06.00. Nama penginapan nya Hotel Mutiara, dengan fasilitas yang biasa-biasa, dikenai harga 330 ribu permalam, cukup mahal dibandingkan hotel di kota yang lebih besar.


Sesudah sarapan dan bertamu di rumah Jalil, kami kemudian menuju kantornya di daerah Bhayangkara kawasan perbukitan, lokasi kantor TVRI Jayapura. Sepintas kota Jayapura mirip dengan kota Balikpapan. Pelabuhan laut Balikpapan dan Jayapura sama-sama ditengah kota. Kota Balikpapan dan Jayapura sama-sama menempati daerah Teluk, sehingga memungkinkan pelabuhan lautnya terletak ditengah kota.


Orang sering mengatakan Balikpapan adalah kota seribu Gunung, tetapi rasa-rasanya pegunungan (lebih tepatnya perbukitan) di wilayah Jayapura jauh lebih banyak. Daerah bukit-bukit di Jayapura lebih curam dan tinggi, serta kotanya lebih luas dengan densitas yang lebih rendah dibandingkan Balikpapan. Dengan tekstur wilayah yang seperti ini, kita dapat menyaksikan wilayah Jayapura dari tempat yang lebih tinggi.


Kantor Jalil terletak di daerah tinggi, karena biasanya tower TVRI terletak di atas bukit yang paling tinggi dalam suatu kota. Sehingga memungkinkan kita untuk menyaksikan teluk Jayapura dan Kota Jayapura dari depan kantornya. Pada sore dan malam hari biasanya pasangan-pasangan muda-mudi duduk dipagar diluar halaman kantor sambil memandang teluk dan kota Jayapura. Kebetulan hari-hari ini kota Jayapura diguyur hujan, termasuk hari ini. Menyaksikan kota dari suatu ketinggian pada sore hari dikala rintik-rintik terasa lebih syahdu dan indah. Dikejauhan terdapat dua pulau yang jaraknya beberapa kilometer dari kota yang ditutupi kabut, sementara di kota satu dan dua lampu mulai menyala.


Waktu aku kecil, diseluruh Papua orang mengenal Jayapura sebagai Hongkong di waktu malam. Hal yang sering dibanggakan oleh teman-teman yang baru pulang dari Jayapura atau warga yang tinggal di Jayapura. Indah memang kala malam, karena cahaya lampu dan bangunan-bangunan disepanjang pantai teluk dipantulkan air laut, sehingga cahaya lebih dramatis dan lebih banyak. Sehingga apabila kita datang ke Jayapura jangan sampai melewatkan pemandangan ini : pantulan air di teluk Jayapura dari bukit tertinggi, entah dari kawasan Angkasa, Bhayangkara atau skyline.


Ada satu yang menarik, karena persis diatas salah satu puncak bukit yang tertinggi, terdapat tulisan yang mungkin ditiru dari kawasan terkenal Hollywood, yaitu tulisan “Jayapura City” yang pada malam hari bercahaya berwarna merah.


Setelah makan siang dengan menu papeda – seingatku ini untuk pertama kali aku makan Papeda – di warung Prima Rasa dimana Jalil tidak percaya jika aku yang kelahiran Irian tidak pernah makan Papeda kami kembali ke kantor dan menghabiskan waktu seharian disana. Makan malam kami adalah sate padang yang tidak begitu enak serta Ikan Mujair goreng. Setelah makann malam, kembali kami menyusuri kota Jayapura menyaksikan gubuk-gubuk yang dibuat untuk menyambut Natal. Gubuk yang pada siang hari terlihat biasa-biasa, menjadi lebih menarik pada malam hari karena dipasangi lampu yang berkelap-kelip serta musik lagu-lagu Natal dengan volume yang tinggi, membuat suasana Natal lebih terasa di bumi Papua.


Karena cuma tidur hanya 1 jam pada malam sebelumnya dalam perjalanan dari Makassar ke Jayapura, malam ini tubuhku memutuskan tidur lebih cepat. Pukul sepuluh malam lebih sedikit, aku meninggalkan kerlip lampu Jayapura menuju dunia mimpi.