Tuesday, November 06, 2007

The Constant Gardener


Sesuatu yang diawali dan diakhiri dengan cinta akan senantiasa Abadi
(kardjo)


Akhir yang indah...
Tragis namun berkesan...
Tidak banyak akhir dari sebuah cerita dimana keindahan dan kesedihan dapat bertemu, “Constant Gardener” salah satunya.

Tidak salah Produser film ini memilih Fernando Meirelles menterjemahkan novel menjadi film dalam judul yang sama. Karena Meirelles pernah membuat film lain yang juga sangat bagus : City of God.

Di tepi danau Turkana di pelosok Kenya, Danau yang indah dikala sore, ketika burung terbang diketinggian, ketika keindahan menyatu dengan kesedihan, ketika tugas terakhir dari mendiang istri sudah dituntaskan, Justin Quayle duduk ditepi danau menyongsong maut, menunggu pembunuh yang akan menghabisi nyawanya, ditemani kenangan istri yang telah lebih dahulu dibunuh.

Buat aku, tidak hanya di Afrika, tetapi dimana saja sering terjadi sindikasi korporasi yang besar, dengan motivasi menciptakan keuntungan sebesar-besarnya, rela mengorbankan nyawa manusia. Seakan-akan nyawa itu tiada nilanya. Entah itu korporasi tambang, perusahaan eksplorasi minyak, perusahaan makanan,perusahaan obat-obatan, dll.

Tessa Quayle layak menjadi teladan. Dengan ketulusan hati dan kesetiaan kepada suami, mempertaruhkan nyawanya untuk sesuatu yang dia yakini benar, yaitu menolong rakyak Kenya agar tidak menjadi kelinci percobaan.

Bumi butuh orang-orang yang mencintai dengan tulus, menolong tanpa pamrih dan mengabdi dengan ikhlas. Sekiranya banyak orang seperti Tessa, Justin, Arnold dan relawan kemanusiaan yang lain. Umur bumi pasti lebih lama, dan wajah berita di TV, majalah dan Koran-koran akan lebih beradap.

Meski memiliki senjata, Justin memilih untuk membuang pelurunya. Ia menutup mata kala para pembunuh yang menggunakan pickup turun dari mobil mendekatinya. Burung-burung pun berterbangan kala itu langit indah berwarna keemasan, sama seperti Justin aku pun merasakan kedamaian…….