Friday, July 30, 2010

Hari keempat : Selamat Tinggal Sabang, Selamat Tinggal Banda


Tepat pukul 05.30 Wib alarm handphone ku berbunyi, badan masih terasa lelah karena malam sebelumnya aku baru tidur sekitar jam 1an WIB. Malam terakhir di Iboih aku habiskan dengan mengobrol bersama pengelola Cottage dan rekan-rekan turis local yang semuanya berasal dari Banda Aceh. Ada 4 group turis local yang menginap di Cottage itu dan dua group turis bule. Tentang group local, grup local pertama terdiri dari empat lelaki berasal dari Banda Aceh yang adalah pekerja di pemerintahan propinsi, group kedua terdiri dari 4 orang yang berasal dari Banda dan satu orang dari Medan, group ketiga (semuanya wanita) dua orang dari Aceh dan satu rekannya dari Makassar dan group ke empat sepasang pria dan wanita yang berasal dari kota Lhok Tuan. Malam terakhir aku di Iboih, aku sempatkan mengobrol dengan semua group turis local kecuali yang group ke dua.

Aku kemudian mandi, merapikan tempat tidur dan memeriksa barang bawaan, tidak lama setelah Firman selesai mandi, tepat pukul 06.10 Wib kami pun meninggalkan cottage yang teridiri dari 12 bungalow-bungalow kecil itu. Andy dan Jamal, berdua yang merangkap koki,penerima tamu, office boy, speedboat driver,tukang bersih-bersih kamar,dll masih terlelap tidur, sehingga kunci kamar kami tinggalkan tergantung di pintunya. Aku menyempatkan diri mengambil foto-foto cottage Iboih Inn, kemudian kami pun berjalan meninggalkan cottage menuju tempat parkir motor yang jaraknya 1 Km dari tempat kami menginap. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir aku sempatkan mengambil beberapa gambar, karena pas dari arah timur matahari baru saja keluar.

Waktu menunjukkan pukul 06.50 Wib ketika kami meninggalkan daerah Iboih. Ada perasaan sedih karena kurang lama rasanya bermalam di Iboih. Tujuan kami selanjutnya adalah pelabuhan penyeberangan Balohan Sabang, untuk mengejar kapal ferry cepat yang akan berangkat pukul 08.30 Wib. Firman pengemudi yang cekatan, meski barang bawaan banyak, motor RX Kingnya tetap melaju dengan stabil. Jalanan ke arah Iboih sangat mulus, sehingga membuat perjalanan kami terasa nyaman. Dibeberapa tempat aku meminta Firman berhenti untuk mengambil beberapa gambar kota Sabang untuk terakhir kali. Jalanan yang berkelok-kelok naik dan turun bukit seperti kota Jayapura. Disepanjang perjalanan menuju Balohan pemandangan disebelah kiri adalah laut Lepas. Dari arah bukit, kota Sabang dan daerah Iboih terlihat menawan dari jauh. Perjalanan yang seharusnya 20 menit menjadi hampir satu jam karena kami harus berhenti untuk mengambil foto-foto pemandangan yang menawan itu.

Jam delapan kurang kami sampai di Pelabuhan. Setelah membeli tiket ekonomi ferry cepat seharga 55 ribu rupiah, aku dan Firman kemudian sarapan di warung yang terletak persis di depan pelabuhan, dengan menu sama dengan sarapan dua hari yang lalu, nasi kari, ikan laut dan kopi Aceh. Pukul 08.15, penumpang kapal di panggil melalui announcer. Sebelum bersalaman untuk berpisah, aku menasehatkan Firman yang masih menganggur itu untuk terlibat dalam bisnis wisata di kota ini. Aku yakin apabila wisata dikelola dengan baik, potensi bisnis tersebut untuk berkembang di kota Sabang sangat terbuka lebar, mengingat Sabang memiliki potensi wisata yang besar. Beberapa hari mengenalnya, aku merasa karakter Firman cocok untuk terjun ke bisnis wisata, terutama menjadi instruktur dive karena dia mengenal banyak lokasi snorkel di pulau itu. Kami berpelukan, aku masuk ke kapal tepat pukul 08.30 Kapal ferry berangkat meninggalkan pulau Sabang.

Empat puluh lima menit kemudian, kapal kami sampai di Uleelheu. Yusran, security pak Syamsul yang baik hati terlihat dari kejauhan. Kami pun menuju kantor untuk bertemu dengan Pak Syamsul. Sampai di kantor aku meletakkan tas dikamar pak Syam dan ngobrol sebentar dengan beliau. Atas saran Pak Syam, aku dianjurkan untuk melihat pantai Lhok Nga dan Pantai Lampuuk. Kurang lebih pukul 10.45 aku dan Yusran kemudian berangkat menuju Lhok Nga. Pak Syam tidak bisa menemani karena sedang mengikuti kuliah S2 dan bertepatan hari ini ada ujian yang harus diikuti. Sepanjang perjalanan menuju Lhok Nga disebelah kanan kami terlihat pemandangan pantai yang spektakuler. Air yang biru dan kehijauan, langit yang biru serta buih ombak yang putih menyajikan kombinasi warna yang elok. Garis pantai yang panjang dan jarak antara pantai ke laut cukup jauh membuat pantai-pantai di pesisir barat Aceh ini merupakan salah satu pantai yang paling indah yang pernah aku lihat. Siapa yang menyangka dari pantai yang indah ini, gelombang Tsunami pernah keluar dan meratakan seluruh pemukiman yang jaraknya berkilometer dari garis pantai?

Kata-kata tidak cukup untuk melukiskan keindahan pantai itu, setelah mengambil beberapa gambar didaerah Leupung daerah paling jauh yang kami kunjungi, kami pun kembali kearah Banda Aceh sambil singgah di pantai Lhok Seudu, pantai Lempuuk dan dibeberapa tempat sepanjang perjalanan untuk mengambil foto-foto. Hal yang menarik, jalanan yang dibangun oleh bantuan Amerika Serikat yang kami lalui sangat lebar dan kokoh. Konon menurut isyu yang berkembang di rakyat Aceh, jalan itu sengaja dibuat lebar agar pesawat-pesawat dapat mendarat di jalanan tersebut apabila suatu waktu nanti Aceh menjadi pangkalan militer. Jalanan dibangun melalui bukit-bukit karang yang sengaja dihancurkan dengan menggunakan dinamit, perencanaannya jalannya sangat baik sehingga dari arah jalan, orang dapat menyaksikan pantai dengan lebih baik. Jalanan yang didanai Amerika ini menghubungkan kota Banda Aceh dan Lhoksumawe. Sepintas memang mirip dengan runaway di airport karena lebar dan kokohnya lapisan aspalnya.

Setelah lelah mengambil gambar, tempat yang kami cari selanjutnya adalah rumah makan. Kali ini menunya khas Aceh yaitu Ayam tangkap di Resto Aceh Rayeuk. Tidak salah teman-teman merekomendasikan tempat ini, rasa ayam sampahnya (karena dimasak dengan menggunakan daun2 an seperti sampah) mantap. Setelah makan, tour dilanjutkan didalam kota dengan mengunjungi monumen kapal yang lain di daerah Lampulo. Lokasi kapal ini tidak seperti kapal PLTD yang ramai dikunjungi orang itu. Monumen kapal ini terasa unik karena kapal kayu tersebut tersangkut dilantai dua rumah penduduk. Oleh pemerintah, tanah disekitar situ telah dibeli dan kapal serta rumah tersebut dijadikan monumen. Perjalanan dilanjutkan mengunjungi Museum Tsunami yang megah yang baru diresmikan oleh Pak Presiden. Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, aku memilih tidak masuk ke Museum, karena harus segera ke kantor untuk mengambil tas dan menuju Bandara dengan Pak Syamsul.

Sebelum pulang, aku tidak dapat menahan diri untuk masuk ke Pemakaman Belanda (Kerkhoff) untuk mengambil beberapa gambar. Makam Kuno selalu menarik perhatian ku, apalagi ini merupakan salah satu cagar budaya. Ada kesedihan yang kurasakan ketika menyaksikan makam-makam orang-orang Belanda atau Jepang. Dimakamkan ditempat yang jauh dari tempat nenek moyangnya, sehingga makam mereka jarang bahkan tidak pernah dikunjungi kerabat dan sanak saudaranya. Sebagai tambahan, Kuburan Kerkhoff, adalah kuburan militer Belanda pada waktu Perang Aceh. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. Kuburan ini masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut. Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.

Tepat di depan makam terdapat lapangan yang merupakan alun-alun kota Banda. Di alun-alun tersebut terdapat monumen pesawat komersial pertama milik Indonesia (Garuda), yang adalah hasil sumbangan penduduk Aceh kepada pemerintah Indonesia.

Setelah membeli kopi Aceh sebagai kenang-kenangan buat sahabat yang menggemari kopi, jam setengah lima sore Pak Syamsul yang baik itu mengantarku menuju Bandara. Sebenarnya tidak enak merepotkan bos yang satu ini, tetapi dia bersikeras untuk mengantarku, mumpung bujang lokal katanya. Perjalanan ke Bandara Sultan Iskandar Muda berjalan dengan lancar, tepat pukul lima kurang lima menit kami berdua sampai di Bandara yang megah itu. Dengan bantuan porter yang aku bayar dua puluh ribu, aku buru-buru check in, karena 30 menit lagi pesawat berangkat. Kurang lebih sepuluh menit proses check-in selesai, aku keluar sebentar pamit ke Pak Syamsul. Ketulusan Pak Haji Syamsul, membuat perjalananku ini semakin berkesan. Selain pemandangan Banda dan Sabang yang menawan, ketulusan sahabat lama Pak Syam dan sahabat-sahabat baru ku yang baru kukenal (ada yang cuma beberapa jam kukenal) membuat perjalananku ke Aceh berakhir dengan fantastik.

Ketika duduk di bangku pesawat, baru badan terasa lelah dan pegal-pegal. Dalam dada perasaan bercampur aduk tidak pasti antara senang dan sedih. Senang karena dapat kembali kerumah, sedih karena harus meninggalkan kota yang luar biasa ini. Satu hal yang pasti, ketika meninggalkan kota ini aku merasa diri menjadi semakin kaya. Kaya akan pengalaman-pengalaman baru dan kaya akan sahabat-sahabat yang baik. Tepat pukul 19.30, kutinggalkan Banda Aceh dengan satu harapan, pada suatu tempo, aku akan kembali ke kota ini!!


Lokasi Yang Dikunjungi :
Pantai Lhok Nga
Pantai Lhok Seudu
Pantai Lempuuk
Monumen Kapal Lampulo
Pelabuhan Lampulo
Museum Tsunami
Makam Belanda Kherkoff
Monumen Garuda
Resto Aceh Rayeuk

No comments: