Wednesday, March 30, 2011

Hari ke – 2, ”Pelai* ! Sampai juga ke Merauke”







*) : ungkapan seperti Jancuk di Surabaya atau anjir di Bandung yang sudah dianggap tidak kasar, sehingga digunakan dalam percakapan sehari baik pria mau pun wanita. Kata2 ini banyak digunakan oleh orang-orang di Merauke.


Semua anak yang SD di Indonesia pada jaman aku (tidak tahu jaman sekarang) pasti tahu dan hapal lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Beberapa tahun lalu, lagu tersebut, khususnya larik pertama, sempat "dikomplain" oleh Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze. Menurutnya, waktu terbit matahari di Merauke dua jam lebih awal dibandingkan dengan munculnya sang surya di bagian Barat wilayah Indonesia. Tetapi banyak orang menyebut bentang wilayah RI dari Sabang hingga Merauke, bukan sebaliknya. Karena seharusnya kita menyebut yang awal dulu baru akhir, lebih tepat apabila syairnya dari Merauke sampai Sabang, kata beliau !!


Untuk diriku agak berbeda, karena kota yang pertama kali aku kunjungi adalah Sabang, pada bulan Maret 2009 yang lalu, sementara Merauke baru ku kunjungi hari ini, sehingga lebih tepat kalau menyebutnya “Dari Sabang Sampai Merauke”. Perjalanan yang sudah kurencanakan kurang lebih dua tahun yang lalu. Aku pernah punya pemikiran bahwa sebelum aku melakukan perjalanan dengan biaya sendiri ke negara lain, sebaiknya terlebih dahulu mengunjungi Sabang dan Merauke. Hari ini keinginan itu pun menjadi kenyataan.


Kedatanganku di Bandara Mopah Merauke disambut oleh rekan baik aku eks teman kantor di Balikpapan, yang pindah ke kota ini dan menjadi kepala kantor disini, bang Ronnie Robert Oei. Dia adalah lelaki China peranakan Irian yang lahir dan besar di Merauke, dan kembali ke Merauke sejak tahun 2007 sesudah hampir 28 tahun bekerja di luar Merauke. Dengan dijemput mobil pickup kantor, dari Bandara kami menuju rumah Bang Ronnie untuk meletakkan tas dan mengganti baju. Kemudian kami langsung melaju menuju Pantai diujung Landasan Mopah menemui saudara sepupu Bang Ronnie yang tinggal didaerah itu.


Kaget juga sampai disana, kurang lebih ada 10 lelaki dewasa sedang duduk mengelilingi para-para ditepi pantai, sambil menenggak minuman keras yang terbuat dari tunas buah Kelapa yang sudah difermentasi. Awalnya minum-minum berjalan biasa-biasa saja, mereka bergantian menenggak ¼ gelas Sopi (nama minuman keras itu) dari gelas yang sama yang dibagikan oleh bandar. Kemudian datang seorang lelaki lain ke group tersebut utk bergabung. Masalahnya lelaki yang datang terakhir ini terlalu banyak bicara karena sudah mabuk terlebih dahulu sebelum ketempat kami. Tempat mereka minum-minum adalah rumah peristihatan nelayan tradisional si tuan rumah yang juga Cina peranakan beristri orang Papua, Pak Faiku nama nya. Pak Faiku baru saja mendapat uang dari project menanam bakau dipantai Ujung Mopah, sehingga mereka pun pesta miras. Dalam kumpulan itu, ada juga Pak Moses yang berasal dari suku Marind, salah satu suku asli Merauke. Beliau adalah tuan tanah yang baru-baru ini mendapat ganti rugi tanah adat sebesar 2 milyar dan dalam proses untuk mendapat ganti rugi berikutnya atas tanah yang akan digunakan sebagai perluasan bandara sebesar 6 milyar !


Kembali ke kerumunan orang mabuk tadi, akhirnya sang tamu ribut dengan tuan rumah tempat kami berkunjung. Tuan rumah, Cina peranakan yang badannya penuh tatto yang juga mabuk ini pun marah, mengeluarkan parang nya yang cukup panjang. Buat orang yang baru datang di Papua pasti kaget tetapi buat yang sudah lama di Papua pasti pernah menyaksikan hal ini, orang kejar-kejaran menggunakan parang atau jubi (tombak). Hehe seram juga pada awalnya, orang mabuk dengan senjata tajam, kita tidak bisa menduga arah pikirannya, apalagi keduanya mantan residivis. Cara terbaik adalah bersiaga dan sedikit menjauh dari kerumunan itu.


Menarik rasanya melihat sekumpulan orang Papua dari kalangan bawah sedang berbagi minuman keras dan minum bersama-sama. Pada akhirnya akan ada yang berkelahi karena sudah sama-sama mabuk. Menyaksikan peristiwa ini, rasa-rasanya aku sudah sah berada di Papua. Untungnya tidak terjadi perkelahian besar, karena ada rekan Polisi Militer yang mendamaikan mereka. Yang menyedihkan dari saudara-saudara yang suka mabok di Papua, adalah taraf hidup mereka pastinya akan selalu dibawa garis kemiskinan.


Kurang lebih dua jam mereka berkumpul ditempat tersebut akhirnya satu persatu bubar dan kami kemudian pindah lokasi ketempat yang lain, karena Bang Ronnie sudah janjian akan bertemu dengan teman-teman masa kecilnya.


Bang Ronnie baru saja mendapat tanah pembagian dari Pak Moses si tuan tanah. Tanah seluas hampir seribu meter persegi letaknya persis di pinggir Pantai Ujung Mopah. Ditempat itu bang Ronnie membuat pondok tempat beristirahat dan beberapa kali mengundang teman-temannya pada hari libur untuk berkumpul di pondok tersebut. Kali ini rombongan yang kami temui adalah rombongan yang berbeda 180 derajat dengan sebelumnya. Sekumpulan orang Cina perantauan yang sudah lahir dan besar di Merauke. Mereka pada umumnya adalah pemilik toko besar di kota Merauke, jumlahnya 4 keluarga yang datang dengan membawa anak-anaknya. Tempat kami pun menjadi ramai. Pak Deki teman SD bang Ronnie mengatakan, mereka lebih suka ketempat ini karena tempatnya lebih sepi dan tidak diganggu oleh pedagang seperti dipantai lainnya.


Menyenangkan menyaksikan dua kelompok yang berbeda pada hari yang sama. Dengan mengobrol dengan kedua kelompok ini, rasa-rasanya jadi tahu atmosfir budaya dikota ini. Kota Merauke, jauh lebih aman buat pendatang dibandingkan kota-kota lain di Papua. Dari bang Ronnie aku juga tahu bahwa Cina peranakan yang telah ada sejak jaman Belanda dulu, mampu berasimilasi dengan penduduk asli sehingga diterima dan dianggap saudara oleh mereka. Boleh dibilang semua warga Cina yang datang pada jaman Belanda ke Papua diterima dengan baik dan berasimilasi dengan warga Papua, entah dikota, Merauke, Sorong. Yang terkenal karena wanitanya berparas cantik-cantik – adalah warga keturunan Cina dari Pulau Serui. Mereka biasanya berayah atau beribu orang Papua. Dalam hal pertikaian dengan penduduk asli hampir tidak pernah kedengaran, karena keturunan yang ketiga dan keempat sekarang ini sudah dianggap sebagai orang Papua.


Hari ini diawali dengan wisata budaya di kota Merauke. Ini membuat jiwa semakin kaya. Sesudah makan malam, aku dibawa Bang Ronnie menyusuri kota Merauke yang benar-benar datar dan rata. Semua jalan besar kami jalani, menarik memperhatikan infrastruktur awal yang dibangun Belanda. Kota Merauke adalah kota berpasir, tidak ada batu dikota ini dengan permukaan datar dan hampir sejajar dengan Laut tetapi ketika hujan besar tidak pernah banjir. Oleh insinyur Belanda, dipinggir jalan utama yang mereka bangun dibangun kanal-kanal sehingga ketika laut pasang tidak akan menggenangi kota tetapi masuk melalui kanal-kanal tersebut. Peninggalan itu masih terlihat sampai sekarang. Hampir sama dengan jalan di kota Palangkaraya yang lurus, lebar, datar dan siku 90 derajat kota Merauke pun begitu. Hanya ada satu bagian jalan kurang lebih panjang jalan itu 5 meter, dalam bentuk gundukan setinggi dua meter yang sering disebut penduduk setempat gunung. Jadi kalau mau naik gunung dikota Merauke lewati saja jalan raya yang bergunduk itu maka anda sudah sampai dipuncak Gunung kota Merauke!


No comments: