Wednesday, March 30, 2011

Hari ke – 1, ”Kemilau Lampu Jayapura di Waktu Malam”

Pesawat mendarat di Sentani pada pukul 07.15. Ini kali kedua aku ke Jayapura sesudah kunjungan pertama kurang lebih delapan tahun yang lalu. Tidak beberapa lama sesudah mengaktifkan handphone, Abdul Jalil sahabat sejak SD di Nabire menghubungi aku, memberi tahu bahwa dia sedang menunggu di luar. Sesudah menunggu bagasi kurang lebih 45 menit, kami pun berangkat menuju ke kota. Tepat di depan Bandara Sentani, terdapat makam pemimpin besar Papua Bapa Theiss. Beberapa hari yang lalu, salah seorang pemimping Organisasi Masyarakat Papua, Kelly Kwalik baru meninggal, sehingga sekelompok massa mendirikan tenda di kuburan Bapa Theis serta menempelkan spanduk dengan tulisan “Natal dalam suasana Duka”, dalam hati aku hanya bisa berharap semoga tidak ada keributan lagi dikarenakan peristiwa tersebut.


Perjalanan dari Pelabuhan udara Sentani menuju Jayapura akan melewati kota Abepura. Sebelum kota Abepura, kami melewati pesisir Danau Sentani yang indah. Tidak seperti Danau di daerah lain yang lebih besar, Danau ini merupakan wisata alam yang masih alami yang belum banyak dirusak oleh bangunan-bangunan hotel atau pemukiman penduduk yang tidak teratur. Akan lebih indah menyaksikan pemandangan Danau Sentani di pagi hari, ketika kabut masih belum benar-benar hilang dan terang masih terang tanah (matahari belum benar-benar keluar). Oh ya bukankah saat terbaik menyaksikan pemandangan setiap danau atau telaga rasa-rasanya pada waktu seperti itu, atau beberapa saat sesudah matahari terbenam dimana langit masih berwarna dramatis merah dan kuning. Jika diperhatikan, sekitar Danau Sentani dikelilingi oleh bukit-bukit Savana yang ditumbuhi alang-alang dan rumput. Tempat yang cocok untuk memelihara ternak, tapi sayangnya tidak ada peternakan disekitar situ. Karena Jalil harus buru-buru ke kantor untuk berdinas jam 10 pagi, kami tidak berlama-lama menikmati pemandangan Danau Sentani.


Jarak Sentani ke Abepura kurang lebih belasan kilometer, Jalil mengusulkan menginap di Abepura supaya keesokan paginya lebih mudah dijemput karena penerbanganku pukul 07.00 Witim, artinya kami harus sudah di Bandara pada pukul 06.00. Nama penginapan nya Hotel Mutiara, dengan fasilitas yang biasa-biasa, dikenai harga 330 ribu permalam, cukup mahal dibandingkan hotel di kota yang lebih besar.


Sesudah sarapan dan bertamu di rumah Jalil, kami kemudian menuju kantornya di daerah Bhayangkara kawasan perbukitan, lokasi kantor TVRI Jayapura. Sepintas kota Jayapura mirip dengan kota Balikpapan. Pelabuhan laut Balikpapan dan Jayapura sama-sama ditengah kota. Kota Balikpapan dan Jayapura sama-sama menempati daerah Teluk, sehingga memungkinkan pelabuhan lautnya terletak ditengah kota.


Orang sering mengatakan Balikpapan adalah kota seribu Gunung, tetapi rasa-rasanya pegunungan (lebih tepatnya perbukitan) di wilayah Jayapura jauh lebih banyak. Daerah bukit-bukit di Jayapura lebih curam dan tinggi, serta kotanya lebih luas dengan densitas yang lebih rendah dibandingkan Balikpapan. Dengan tekstur wilayah yang seperti ini, kita dapat menyaksikan wilayah Jayapura dari tempat yang lebih tinggi.


Kantor Jalil terletak di daerah tinggi, karena biasanya tower TVRI terletak di atas bukit yang paling tinggi dalam suatu kota. Sehingga memungkinkan kita untuk menyaksikan teluk Jayapura dan Kota Jayapura dari depan kantornya. Pada sore dan malam hari biasanya pasangan-pasangan muda-mudi duduk dipagar diluar halaman kantor sambil memandang teluk dan kota Jayapura. Kebetulan hari-hari ini kota Jayapura diguyur hujan, termasuk hari ini. Menyaksikan kota dari suatu ketinggian pada sore hari dikala rintik-rintik terasa lebih syahdu dan indah. Dikejauhan terdapat dua pulau yang jaraknya beberapa kilometer dari kota yang ditutupi kabut, sementara di kota satu dan dua lampu mulai menyala.


Waktu aku kecil, diseluruh Papua orang mengenal Jayapura sebagai Hongkong di waktu malam. Hal yang sering dibanggakan oleh teman-teman yang baru pulang dari Jayapura atau warga yang tinggal di Jayapura. Indah memang kala malam, karena cahaya lampu dan bangunan-bangunan disepanjang pantai teluk dipantulkan air laut, sehingga cahaya lebih dramatis dan lebih banyak. Sehingga apabila kita datang ke Jayapura jangan sampai melewatkan pemandangan ini : pantulan air di teluk Jayapura dari bukit tertinggi, entah dari kawasan Angkasa, Bhayangkara atau skyline.


Ada satu yang menarik, karena persis diatas salah satu puncak bukit yang tertinggi, terdapat tulisan yang mungkin ditiru dari kawasan terkenal Hollywood, yaitu tulisan “Jayapura City” yang pada malam hari bercahaya berwarna merah.


Setelah makan siang dengan menu papeda – seingatku ini untuk pertama kali aku makan Papeda – di warung Prima Rasa dimana Jalil tidak percaya jika aku yang kelahiran Irian tidak pernah makan Papeda kami kembali ke kantor dan menghabiskan waktu seharian disana. Makan malam kami adalah sate padang yang tidak begitu enak serta Ikan Mujair goreng. Setelah makann malam, kembali kami menyusuri kota Jayapura menyaksikan gubuk-gubuk yang dibuat untuk menyambut Natal. Gubuk yang pada siang hari terlihat biasa-biasa, menjadi lebih menarik pada malam hari karena dipasangi lampu yang berkelap-kelip serta musik lagu-lagu Natal dengan volume yang tinggi, membuat suasana Natal lebih terasa di bumi Papua.


Karena cuma tidur hanya 1 jam pada malam sebelumnya dalam perjalanan dari Makassar ke Jayapura, malam ini tubuhku memutuskan tidur lebih cepat. Pukul sepuluh malam lebih sedikit, aku meninggalkan kerlip lampu Jayapura menuju dunia mimpi.

No comments: