Sunday, June 17, 2012

Corporate University - Sebuah Keharusan? (bagian-3)




Oleh : Hotasi Nababan (Mantan Dirut Merpati dan Ex Pegawai GE)


Setiap pemimpin yang sedang melakukan transformasi akan menghadapi pertanyaan: kemana arah perubahan, berapa besar perubahan itu, dan berapa cepat eksekusinya. Jika anda disitu, anda akan menghadapi ketidakpastian yang sangat besar yang membuat anda menjadi super-ragu. Anda akan menjadi heran sendiri, bagaimana bisa menjadi sangat takut mengambil keputusan untuk berubah padahal anda telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang management. Bila anda pernah menjadi seorang konsultan, maka jawaban ketiga pertanyaan itu akan anda jawab dengan mudah dengan berbagai opsi dan scenario kuantitatif.

Investasi Pendidikan Demi Kelangsungan Perusahaan

Menjadi pelaku pemimpin: sangat berbeda. Anda bukan pengamat, tapi pelaku langsung. Jika perubahan gagal, masa depan karir anda yang dibangun bertahun-tahun terancam.resiko makin tinggi bagi Pemimpin perusahaan besar. Seperti seorang kapten kapal induk yang harus melakukan keputusan mengubah arah kapal disaat kapal sedang bocor dan ditengah badai, otak dan keterampilan yang ada seperti macet, tersandera oleh kekhawatiran akan sisi kapal. Menunda keputusan karena terlalu khawatir hanya akan membuat kerugian lebih besar.

Setiap airlines yang mengutamakan safety akan mencurahkan anggaran besar bagi pelatihan seluruh crew dan teknisinya. Pelatihan itu tidak hanya meningkatkan keterampilan dan kewaspadaan menghadapi bahaya, namun juga menjaga paradigma mereka terhadap perubahan operasional. Setiap pilot wajib mengikuti pelatihan dengan simulator minimal 2 kali setahun. Simulator memberi program kejutan, seperti landing-take-off di beberapa airport dengan cuaca berbeda. Biaya pendidikan bagi sebuah airlines berkisar antara 3-5 % dari Revenue setiap tahun. Tidak heran Singapore Airlines menyisihkan Rp 3 Trilyun, atau 3% dari Revenuenya demi menjaga reputasinya.

Apakah Corporate University Perlu ?

Jika anda memimpin sebuah perusahaan besar yang canggih, berapa kali kah anda mengikuti pelatihan keterampilan mem-piloti perusahaan untuk mampu bermanuver dalam badai persaingan? Apakah sebuah simulator perusahaan terstruktur seperti Corporate University dibutuhkan?

Jika perusahaan anda memiliki karyawan di atas 10.000 orang dan bisnis yang digeluti sangat beragam sehingga membutuhkan konfigurasi Human Capital yang rumit, maka jawaban cepat saya: Harus! Memimpin sebuah perusahaan dengan 1000 karyawan tentu sangat berbeda dengan sebesar 10.000 karyawan di industri yang sama. Magnitude permasalahan yang dihadapi bukan 10x, namun bias membuat permutasi masalah yang jauh lebih besar, kira-kira (10.000/1000)^2, atau 1000x! setiap relasi manusia di dalam perusahaan bias menghasilkan jaringan rumit yang bias kontra-produktif seperti orkes besar dengan partitur yang dibaca berbeda.

Corporate University sangat membantu CEO perusahaan besar. Unit ini akan merancang software yang dibutuhkan perusahaan untuk hidup dan berubah bila diperlukan. CEO atau Direktur Utama lah yang memiliki kepentingan terbesar dari sebuah Corporate University. Pendidikan terintegrasi tidak bisa di-outsource. Beberapa modul bisa di-outsource, namun komposisinya harus dirancang dan dipelihara oleh Corporate University itu.


Perbedaan Pusdiklat dan CU

Corporate University berbeda dari pusdiklat yang umumnya dimiliki banyak perusahaan. Pusdiklat mengutamakan keterampilan yang menjadi keunggulan operasional perusahaan. Banyak materi pelatihan yang sama diantar keduanya, tetapi pusdiklat selalu menekankan kepada penguasaan/mastery dari setiap modul. Corporate University

Mengutamakan peningkatan kecerdasan/inteligensia perusahaan untuk melakukan perubahan, mengeksekusi inisiatif strategis, dan menyebar ”best practices” di antara unit usaha dan dari luar. Perusahaan yang cerdas sangat sulit dibentuk walaupun anggota management cerdas. Diperlukan pelatihan bersama yang konsisten.
Memimpin BUMN besar sangat menguras energi karena perbedaan paradigma alami yang dibawa setiap anggota Direksi. Gawatnya lagi, Direktur Utama bukanlah CEO seperti di AS, tetapi hanya salah satu anggota Rapat Direksi. Direktur Utama BUMN terpaksa harus tarik-ulur dengan Direksi lain agar mereka bersedia ”aligned”. Jika masih ada yang tidak ”aligned”, Direktur Utama bisa mengadu ke Meneg BUMN untuk menegur hingga mengganti Direksi)


Crotonville Corporate University Bergengsi

Pada saat saya di General Electric, Crotonville telah menjadi oasis besar bagi setiap karyawan GE. Setiap program dirancang untuk tingkat management yang berbeda, dari junior, madya, hingga advanced. Mendapat undangan ke Crotonville seperti lebih berharga daripada memperoleh bonus tahunan, di Crotonville, kami serasa dibawa ke ketinggina 10000 kaki untuk melihat GE seperti Jack Welch memelototinya setiap hari. Hal ini sangat membantu kami memahami isi kepala pimpinan GE dalam situasi dilematis. 

Kami memahami kebijakan yang bagi kami di bawah terasa kontroversial seperti menutup unit bisnis, atau mengeluarkan karyawan yang tidak perform. Kuliah dan interaksi di dalam kelas seperti sebuah percepatan proses pembelajaran memimpin unit bisnis GE. Mataeri yang padat disampaikan dengan sistematis dan kreatif. Seluruh program itu dirancang oleh Tim Crotonville yang sangat memahami dunia usaha dan dunia pendidikan. Mereka bukan hanya pengajar dari universitas unggul di AS, tetapi juga telah memiliki pengalaman nyata menjalankan perusahaan atau konsultan.

Kisah sukses Crotonville bagi GE sudah banyak ditulis dan dipuji. Demikian juga dengan Corporate University lainnya seperti IBM, Telkom, Astra, atau Danamon. Saya mencatat ada tiga faktor utama mengapa Crotonville sangat berhasil. Ketiga faktor ini diluar hal-hal yang dikagumi orang seperti fasilitas kampusnya yang lengkap, staf pengajar yang terkenal, dan komitmen anggaran yang sangat besar.

Crotonville mengikuti Visi Jack Welch sebagai CEO. Tunggal. Tidak gado-gado, atau kompromi antara keinginan anggota Direksi, atau bahkan hanya mengikuti Direktur SDM sebagai pembina. Jack Welch adalah dirigen tunggal. Crotonville membuat partitur yang sistematis. Management memainkan konser itu sesuai dengan karakteristik setiap unit dan orang. Visi Jack yang revolusioner seperti “be number 1 or 2” dengan nilai-nilai “speed”, “hate bureaucracy:, “boundariless” betul-betul dijadikan program yang mudah dicerna bagi peserta pelatihan Crotonville tidak pernah menanyakan arahan dari siapapun selain Jack.

Saya tidak setuju sistem kepemimpinan kolektif perusahaan seperti di Indonesia. Namun karena UU mengharuskan itu, maka Direksi sebagai tim harus bisa sepakat akan Visi perusahaan dan derivatifnya. Tidak boleh ada deviasi. Sebaiknya seluruh anggota Direksi rela mengikuti Bisi yang diajukan Direktur Utama. Gerak perusahaan akan jauh lebih cepat jika Direksi “aligned” terhadap Visi itu. Corporate University kemudian yang merancang derivatif Visi dan cara perilakunya agar perusahaan menjadi cerdas.

Tim Crotonville diberikan kebebasan untuk menyusun program dan memilih metoda yang efektif agar tujuan pencerdasan itu tercapai. Tentu saja Jack masih bisa mem-veto program apabila bertentangan dengan Visinya. Namun hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan Jack sering menantang Crotonville untuk membuat metode baru supaya para peserta lebih gila lagi mengeluarkan ide-ide baru. Staf pengajar Crotonville bekerja keras mengumpulkan studi kasus dari luar dan dalam GE yang tidak bisa diperoleh umum seperti HBS. Beberapa studi kasus berasal dari rahasia sukses para pesaing. Studi kasus itu selalu dimodifikasi setelah sebuah program selesai, karena masukan dari peserta menambah pemahaman akan kasus itu.

Materi program bervariasi, tetapi biasanya terdiri dari 3 bagian utama yang konsisten disajikan: ”GE Today”, ”Our Values”, ”New Challenges”. Bagian pertama membawa peserta ke isu strategis yang dihadapi pimpinan GE termasuk Jack. Kita melakukan simulasi sedemikian rupa sehingga kami memahami cara pikir Jack. Bagian kedua menyangkut hal fundamental perusahaan, yaitu integritas dan perilaku setiap hari. Materi ini seperti kegiatan ritual seperti doktrin agama. Bagian ketiga melihat tantangan ke depan yang membutuhkan keberanian untuk berubah atau melakukan tindakan berbeda. 

Studi Kasus dibedah bukan untuk memperoleh solusi bisnis yang memberi kuantitatif terbaik seperti di MBA School umumnya, tapi para peserta dibawa kedalam proses pengambilan keputusan yang sulit yang membutuhkan nyali besar (guts) seperti di dunia nyata. Keputusan yang diambil biasanya dilematis, tidak ada yang mudah. Namun inilah kesempatan paling mahal bagi kita peserta untuk memperoleh jam terbang sekelas Jack dan pimpinan lain.

Penyesalan

Salah satu hal yang saya sesalkan tidak saya lakukan di Merpati adalah meningkatkan Training Center yang ada ke program khusus untuk meningkatkan kecerdasan Management dalam menghadapi krisis. Program Change yang dilakukan hanya melalui change agents di tingkat struktural. Namun karena setiap hari menghadapi krisis (fire-fighting) maka proses berpikir cerdas untuk menjadi terobosan menjadi terlupa.

Jika anda Direktur Utama dari sebuah perusahaan besar, inilah kesempatan emas anda untuk membuat sebuah Corporate University yang akan membantu anda mencapai perubahan Visi dari anda. Perusahaan yang ”aligned” akan mengurangi resiko gagal. Belum lagi semangat kebersamaan untuk melakukan perubahan akan mudah di mobilisasi. Anda bisa menggunakan kesempatan tatap-muka dengan lapis management madya dan bawah disetiap program. Management anda juga akan lebih cerdas menghadapi persaingan dan tantangan baru di depan. Pendek kata, inilah investasi anda yang paling ”murah-meriah” untuk mewujudkan Transformasi.

No comments: