Wednesday, September 13, 2006

TSOTSI **


Cara tercepat untuk mempelajari budaya suatu Negara adalaha melalui film. Aku sudah mengoleksi film Mexico, El Salvador, Brasil, Perancis, Irlandia, Cekoslovakia, Argentina, Perancis, Italia, Korea, Israel dan yang paling banyak tentunya Hollywood.
Satu lagi film yang luar biasa aku temukan dengan setting Afrika Selatan.

Musuh utama kita bukanlah kapitalisme, neo kolonialisme, liberalisme atau terorisme sekalipun. Tetapi musuh utama kita adalah kemiskinan, kemiskinan dan kemiskinan. Ketika kemiskinan menjerat dan menjadi akut, kebodohan pun akan menjadi sahabatnya, membuat siapa pun yang berada di lingkungan itu menjadi tetap terbelakang, tidak mampu bersaing dengan manusia lain yang lebih maju, kesempatan hidup pun rendah dan biasanya kekerasan menjadi bahasa sehari-harinya.

Setiap kota besar berhadapan dengan masalah kemiskinan, pembangunan kota dengan bangunan-bangunan megahnya disatu sisi, menciptakan ruang kota buat mereka yang ‘kalah’ disisi lainnya. Mau Tokyo, Rio, Milan, London, New York, Paris, dll, selalu memiliki ruang buat kaum yang tersisih untuk tinggal. Entah kaum gelandangan, pengangguran, imigran gelap, buronan polisi dan para gangster. Hal ini juga dapat kita lihat di Johanesburg, ibu kota Afrika Selatan, yang adalah kota yang paling tinggi angka kriminalnya di dunia! Perampokan, pembunuhan, perkelahian menjadi hal yang biasa buat kaum urban di sana, terutama di daerah Soweto, dimana kemampuan untuk dapat bertahan hidup menjadi perjuangan utama sehari-hari.

Soweto merupakan daerah urban, tempat pihak yang ‘kalah’ bermukim letaknya 24 km dari Johannesburg ke arah baratdaya. Kota ini dibangun tahun 1940 sebagai tempat pekerja kulit hitam yang bekerja untuk perusahaan tambang emas pada era rasialisme masih berlaku di Afrika Selatan. Ketika politik rasialis masih berlaku (aphartaid), polisi membiarkan daerah Soweto tidak tersentuh sehingga angka kriminal sangat tinggi di sana. Sebaliknya daerah kulit putih di jaga dengan baik oleh polisi Afrika Selatan. Ketika Aphartaid berakhir, daerah ini terlanjur menjadi daerah dengan angka criminal yang tinggi sampai saat ini.

Tsotsi dan teman-temannya tinggal di daerah ini. Gangster dengan 4 orang anggota, yang tega membunuh orang dengan sepotong kawat yang ditusuk ke jantung korbannya di dalam kereta yang penuh orang yang sepertinya sibuk dengan urusannya masing-masing. Usai membunuh satu orang, tidak lama berselang Tsotsi dengan tanpa merasa bersalah kembali menembak seorang wanita - dan membawa lari mobil mewahnya - tanpa ada belas kasihan diwajahnya.

Perubahan perilaku biasanya terjadi karena ada sebuah peristiwa yang menggugah dan mengguncang dalam hidup seseorang. Tsotsi berubah ketika dia mendapati seorang bayi dalam mobil yang dirampoknya. Pada awalnya bayi itu hendak ia tinggalkan, tetapi hal itu urung dia lakukan karena merasa ibu mendengar tangisan si bayi.

Tsotsi berubah dan memiliki tujuan hidup, ketika ia memiliki tanggung jawab untuk merawat si bayi. Dia sadar kehidupannya berarti buat orang lain dan si bayi ternyata bergantung kepada dirinya. Terlihat kepanikan ketika si bayi menangis karena pampersnya telah kotor. Bagaimana dia harus menodong pistol kepada seorang ibu muda untuk menyusui bayinya. Sejak memiliki bayi Tsotsi lebih menghargai hidup, menghormati gelandangan, dan meminta maaf kepada teman baiknya dan puncak perubahan tingkah lakunya ketika dia menyerahkan bayi itu kembali kepada orang tuanya!

Meski mengambil setting di Afrika Selatan, film ini tetap dekat dengan kita. Film ini menjadi dekat karena sangat mungkin terjadi disekitar kita. Kisah kepahlawanan dari orang-orang yang tersisih, yang tidak kita harapkan. Perjuangan melanjutkan hidup dengan menggunakan bahasa kekerasan, karena Cuma itu yang mereka kenal dari kecil. Kehidupan jalanan yang keras serta ada orang yang tersisih ditengah-tengah perkembangan kota yang pesat.

Disamping pengambilan gambar yang tata cahayanya bagus, meski setting nya adalah daerah kumuh dan kurang cahaya, tetapi gambarnya bagus. Disamping itu pujian layak diberikan kepada pencipat musik latar yang bernama Zola. Musik Afrika sungguh memperkuat film ini, sehingga menjadi lebih bagus.

Pada akhirnya kebaikan lah yang mampu membuat hati damai, dan sering sekali orang yang berbuat jahat tidak mengerti apa yang mereka perbuat karena bahasa kekerasan itulah yang mereka kenal sejak kecil. Sehingga benar yang dikatakan seorang bijak, “Tuhan ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat!”

**) Tsotsi meraih Oscar 2006 untuk kategori film asing terbaik

No comments: