Friday, August 04, 2006

Terinspirasi Daya Tahan Indonesia

Berikut sepotong cerita seorang sukarelawan ketika terjadi bencana alam di Indonesia,

Ketika saya melangkahi tubuh para pasien yang penuh penderitaan untuk mencapai pintu masuk rumah sakit, kedatangan korban-korban baru yang seakan tiada henti hanya menambah kacau suasana. Itu adalah hari ketiga sejak gempa bumi yang meluluhlantakkan sebuah daerah pedesaan di Pulau Jawa, Indonesia. Tugas saya adalah mendokumentasikan upaya pemulihan yang dilakukan tim bantuan medis Ekspedisi Marinir ke-3.

Semula dalam situasi itu, saya berniat tidak terbawa emosi. Namun tekad itu terlupakan saat saya menyaksikan banyak keluarga duduk diluar bersama orang-orang yang dicintai, menunggu kedatangan dokter. Rasanya mustahil untuk tidak menghiraukan rasa mulas di perut saya, meski saya tahu orang-orang ini akan segera mendapat perawatan medis yang tiba bersama saya.

Ini bukan pertama kali saya menyaksikan kematian atau kesedihan. Saya menyaksikansendiri kehancuran total kota asal saya di Louisiana, AS, setelah diterjang badai Katrina dan Rita. Namun inilah kali pertama saya menyaksikan begitu banyak korban jiwa. Pemandangan yang paling mengejutkan adalah wajah-wajah penuh senyuman. Saat konvoi kami menyusuri daerah pemukiman, kami dihujani keramahtamahan. Ini bertolak belakang dengan apa yang saya bayangkan akan saya temui dari sebuah masyarakat yang sedang dirundung duka, terutama seorang Kristiani di sebuah negara Muslim yang ama besar.

Semangat bangsa Indonesia membuat saya terpesona dengan berdatangannya para korban ke fasilitas perawatan medis kami dengan mata penuh pengharapan. Mereka tidak hanya tersenyum,tetapi juga terlihat bahagia. Bagaimana mungkin mereka bisa sebahagia ini setelah tertimpa bencana ?

Orang-orang di Louisiana yang sempat berbicara dengan saya menyerah dan ingin menyalahkan seseorang atas situasi yang mereka hadapi. Mungkin kami, bangsa Amerika bisa mendapatkan pelajaran dari masyarakat Indonesia.

Ketulusan

Yang juga mengejutkan, ketika saya berjalan menyusuri reruntuhan bangunan yang hancur, penduduk desa sempat bercerita tentang kehidupaanya. Seluruh penduduk desa di satu daerah tinggal bersama-sama dalam tenda-tenda darurat yang dikelilingi puing-puing dan mereka sebut rumah. Mereka saling berbagi makanan, dan yang mengejutkan, mereka juga membagikan makanan kepada saya. Padahal, saya memiliki jauh lebih banyak makanan dari mereka!

Mereka mengatasi kendala bahasa dengan ketulusan. Saya mungkin tidak dapat berbicara bahasa Indonesia, tetapi hal itu tidak menghalangi saya untuk memahami rasa terima kasih mereka atas bantuan yang kami berikan. Warna kulit dan keyakinan yang saya anut tidak menjadi penghalang untuk menerima saya di rumah-rumah mereka. Saya merasa lebih dekat dengan orang-orang ini daripada dengan orang-orang di kota asal saya Louisiana.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya pengalaman ini akan memiliki pengaruh besar dalam hidup saya, dan kata-kata tak dapat melukiskan apresiasi baru saya terhadap kehidupan atau cara saya memandang kehidupan dunia secara utuh.

Bumi tidak dihuni oleh masyarakat-masyarakat yang terpisah. Bumi adalah rumah bagi seluruh umat manusia! Saya yakin, suatu hari nanti kita semua akan berjuang bersama-sama, bukan saling menentang.

Oleh : Kopral dua (LCPL) Warren Peace (dari Opini, Kompas, Jumat 4 Agsutus 2006, halaman 6)

No comments: