Monday, January 24, 2011

Hari ke – 0, ”Dari Tengah menuju ke Timur”


[Cerita ini tentang perjalanan pulang ke Papua dari hari ke'0' tanggal 18 Desember 2009 di Jayapura, hari ke-2,3 di Merauke dan hari ke 4 Biak]

Entah kenapa kejadian yang sama kembali terulang. Dengan subyek yang sama yaitu ”tripod”. Kala menuju Jakarta dalam perjalanan travelling ke Banda Aceh pada bulan Maret yang lalu, tripod merk Vellbond tertinggal di kabin pesawat ketika transit di Jakarta dari arah Balikpapan, kejadian yang sama pun terjadi, kali ini tripod Manfrotto yang tertinggal di pesawat ketika transit di Makasar dengan tujuan penerbangan ke Papua!! Satu hal yang menarik ketika mencari nomor telepon lost and found Merpati di Bandara melalui call center 108, ternyata ada semacam aturan bahwa nomor telepon Merpati di Bandara tidak pernah ditampilkan di pusat informasi telepon. Malah ketika menanyakan nomor telepon ke pusat informasi Jakarta, disebutkan atas permintaan pelanggan nomor tersebut tidak dapat ditampilkan. Trik untuk mendapatkan nomor Merpati di Bandara adalah dengan menghubungi pusat informasi Bandara, kemudian meminta untuk disambungkan ke bagian barang hilang Merpati.

Dari Balikpapan aku menggunakan pesawat Merpati, dan turun di Makassar, kemudian pesawat itu melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta dan akhirnya menuju Jakarta. Karena barang bawaan cukup banyak (5 tas), akhirnya kembali cerita tripod ketinggalan terjadi. Sadar tengah malam bahwa tripod ketinggalan, akhirnya perburuan mencari tripod itu pun terjadi. Kalau di Balikpapan, pasti aku ke Bandara karena jaraknya hanya 10 menit dari rumah, di Makassar ceritanya akan beda, dari tempat adik ke Bandara kurang lebih satu jam. Langkah pertama yang aku ambil adalah menelpon pusat informasi utk menanyakan nomor telepon Merpati keesokan paginya! Memang masih memprihatinkan pusat informasi di Bandara, hal yang sama akan ditemukan disebagian pusat informasi Pelayaran, pemerintahan, dll sehingga membuat malas orang yang menghubungi pusat informasi tersebut.

Singkat kata setelah mencari nomor telepon dan mencoba berkali-kali menelpon ke pusat informasi Bandara (kurang lebih 30 menit ditelpon baru diangkat, setelah sebelumnya hanya diangkat dan langsung dimatikan teleponnya), akhirnya diperoleh informasi bahwa tripod Manfrotto ternyata berada di Jakarta dan akan dikirim dengan pesawat terakhir (atau pertama) yang akan tiba di Makassar pada pukul 01.00 Wita. Karena penerbanganku ke Jayapura jadwalnya pada jam yang sama, akhirnya aku merelakan tripodku ’berlibur’ di Makassar sampai tanggal 3 Januari 2010 nanti, skenario kedua dibuat, tripod tetap harus ada karena akan ada session foto dengan cahaya rendah dalam liburan nanti. Terpaksa keluar uang 260 rb untuk tripod berbahan dasar platik yang kelihatannya cukup kokoh, diperoleh di MTC lantai-2 setelah berkeliling kota Makssar untuk mencarinya.

Setelah seharian disibukkan dengan bertelepon ria dan mencari tripod pengganti, pada pukul delapan malam terjadi pertemuan dengan Dedy, karib lama yang tinggal di Makassar. Pertemuan dilanjutkan dengan makan malam, gulai kepala ikan dan sup kepala ikan yang sedap di Juku Eja. Buat penggemar kuliner, rumah makan ini wajib dicoba ketika berkunjung ke Makassar. Apabila anda penggemar kepala ikan dan gulai ikan, Juku Eja mungkin salah satu yang terbaik di Nusantara.

Pertemuan dengan Dedy berakhir pukul 10 malam, perjalanan ke Bandara dimulai pada pukul 11 malam, boarding ke pesawat tepat pada pukul 01.15 dan pesawat lepas landas pada pukul 01.40 Wita, menuju Biak selanjutnya Jayapura. Kepala dipenuhi harapan, semoga besok ada pengalaman yang mengesankan yang bisa menghapus kekesalan akibat tertinggalnya tiang penyangga kamera, Manfrottoku.
Permisi Bapa Kelly Kwalik, sa ada mo jalan ke Jayapura nih....!

Saturday, January 01, 2011

Gereja Sion Jakarta


Gereja Sion dikenal juga dengan nama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis berada di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya. Bangunan gereja ini memiliki kemegahan arsitektur serta daya tahan yang kokoh. Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis selesai dibangun ...pada 1695. Peresmian gedung gereja dilakukan pada hari Minggu, 23 Oktober 1695 dengan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas. Pembangunan fisik memakan waktu sekitar dua tahun. Peletakan batu pertama dilakukan Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693.

Cerita lengkap pemberkatan gereja ini tertulis dalam bahasa Belanda pada sebuah papan peringatan. Sampai sekarang, masih bisa dilihat di dinding gereja.

Gereja ini merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih dipakai untuk tujuan semula seperti saat awal didirikan. Rumah ibadah ini masih memiliki sebagian besar perabot yang sama juga. Gereja ini pernah dipugar pada 1920 dan sekali lagi pada 1978. Bangunan gereja ini dilindungi oleh pemerintah lewat SK Gubernur DKI Jakarta CB/11/1/12/1972.

Sejarah
Nama asli gereja ini adalah Portugeesche Buitenkerk, yang artinya Gereja Portugis di luar (tembok) Kota, bangunan gereja tua ini juga memiliki nama Belkita, semasa Hindia Belanda menguasai Batavia. Karena pada masa pendududukan Belanda setelah mengambil alih pendudukan Portugis, pemerintahan Belanda masa itu membangun tembok batas pertahanan kota pemerintahannya. Portugeesche Buitenkerk yang berada di luar tembok pemerintahan Belanda. Karena sampai pada awal abad ke-19 pun masih ada gereja Portugis lain yang ada di dalam kota.

Di sisi lain, Gereja Sion dibangun sebagai pengganti sebuah pondok terbuka yang sangat sederhana. Pondok ini sudah tak memadai bagi warga Portugis Mardijkers berstatus tawanan yang berasal dari Malaya dan India untuk beribadah. Sebagai tawanan, mereka dibawa ke Batavia oleh VOC bersamaan dengan jatuhnya wilayah kekuasaan Portugis di India, Malaya, Sri Lanka, dan Maluku.

Pada masa pendudukan Jepang, bala tentara Dai Nippon ingin menjadikan gereja ini tempat abu tentara yang gugur.

Setelah Indonesia merdeka, Portugeesche Buitenkerk berganti nama menjadi Gereja Portugis. Sebagai peralihan kekuasaan pemerintahan, Pemerintahan Belanda memberikan kepercayaan pengelolaan asset peninggalannya kepada Gereja-gereja Protestan di Indonesia (GPI). Wilayah pelayanan GPI pada bagian barat Indonesia diemban oleh Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB). Maka, pada persidangan Sinode GPIB tahun 1957 Gereja Portugis, diputuskan untuk bernama GPIB Jemaat Sion. Dan masyarakat kini mengenal bangunan itu dengan Gereja Sion. Sion berasal dari nama sebuah bukit di daerah Palestina berbahasa Ibrani dan merupakan lambang keselamatan pada bangsa Israel kuno. Tahun 1984, halaman gereja menyempit karena harus mengalah pada kepentingan pelebaran jalan.

Bangunan
Gereja dibangun dengan fondasi 10.000 batang kayu dolken atau balok bundar. Konstruksi ini berdasarkan rancangan Mr E. Ewout Verhagen dari Rotterdam. Seluruh tembok bangunan terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan campuran pasir dan gula tahan panas.

Bangunan berbentuk persegi empat ini punya luas total 24 x 32 meter persegi. Pada bagian belakang, dibangun bangunan tambahan berukuran 6 x 18 meter persegi. Gereja mampu menampung 1.000 jemaat. Sedang luas tanah seluruhnya 6.725 meter persegi.

Gereja Portugis termasuk gereja bangsal (hall church). Gereja ini membentuk satu ruang panjang dengan tiga bagian langit-langit kayu yang sama tingginya dan melengkung seperti setengah tong. Langit-langit itu disangga enam tiang.

Di bagian dalam, beberapa kursi berukiran bagus dan bangku dari kayu hitam atau eboni masih juga dipakai. Dilengkapi meja kayu, kursi-kursi itu dipakai untuk kepentingan rapat gereja. Tak ketinggalan acara sidang pencatatan sipil bagi anggota jemaat yang akan menikah secara gerejawi.

Ada mimbar unik bergaya Barok. Salah satu perabot asli gereja ini merupakan persembahan indah dari H. Bruijn. Letaknya ada di bagian belakang bersama bangunan tambahan. Mimbar ini bertudung sebuah kanopi, yang ditopang dua tiang bergulir dengan gaya rias Ionic serta empat tonggak perunggu.

Selain itu, ada organ seruling (orgel) gereja yang sampai sekarang masih terawat baik. Organ ini diletakkan di balkon yang disangga empat tiang langsing. Organ ini pemberian putri seorang pendeta bernama John Maurits Moor ini terakhir kali dipakai pada 8 Oktober 2000.

Selamat Dari Kehancuran
Pak Barens, tenaga pengaman Gereja bercerita, pada tahun 1998, saat kerusuhan rasial melanda Jakarta, sejumlah massa berusaha menyerbu bangunan ini. Pagar gereja sudah berhasil dirobohkan, tetapi ketika masa berusaha masuk ke dalam Gereja, mereka tidak berhasil mendobrak pintu Gereja. Padahal palang kayu yang menahan pintu tidak terlalu besar, pada situasi normal seharusnya dua atau tiga orang dapat mendobraknya, sementara massa yang masuk ke lokasi Gereja berjumlah puluhan.

Ketika Krakatau meletus bulan Agustus tahun 1883, bangunan awal Gereja ini - waktu itu masih berbentuk Kapel kecil - juga luput dari kehancuran. Bangunan tersebut luput dikarenakan oleh arsitek awal pondasi bangunannya menggunakan tiang-tiang pancang dari kayu, sehingga ketika terjadi gempa, bangunan diatas nya ikut berayun. Demikian info tambahan dari Pak Barens