Friday, July 30, 2010

Hari Ke Lima : Going Home ….(The End)



“The world is a book and those who do not travel read only one page.” - St. Augustine




Tripod Ryan memang luar biasa! Pada hari pertama tertinggal di kabin bagasi pesawat Balikpapan-Jakarta, pada hari keempat kemarin aku berhasil mendapatkan tripod itu di counter lost and found Garuda. Sialnya karena barang tentengan aku banyak terdiri dari dua tas kresek masing-masing titipan Pak Syamsul buat rekan di Balikpapan serta oleh-oleh kopi, dua ransel besar masing-masing ransel kamera dan ransel baju, kembali tripod Velbond itu tertinggal di Taxi Express SA4112 ketika aku turun di daerah Menteng!! Ketika turun sebenarnya aku sudah merasa ada yang kurang, tetapi karena dari Aceh yang aku bawa hanya 4 koli barang, waktu turun kembali barang itu kembali tertinggal..


Pesawat mendarat di Jakarta pukul 22.30 Wib, setelah menunggu taxi sebentar, aku pun mendapatkan taxi yang selalu menjadi langgananku ketika di Jakarta : Express karena tariffnya lebih murah dari Sibiru. Hotel sudah kupesan sebelumnya, di daerah Menteng disamping pusat jajanan malam. Dipesawat aku memilih tidak makan karena yang terbayang semenjak dari Medan adalah Soto Sapi Betawi dan Sate Ayam taman Menteng. Jam sebelas lebih beberapa menit aku sampai di hotel Formule 1 Menteng, setelah check ini aku mendapat kamar no.162 dengan view jalan Menteng, mantap… sepertinya bakal jadi kamar favorit kalau besok-besok menginap disini lagi. Mandi sebentar kemudian turun ke pusat jajanan menikmati makan malam. Setelah makan aku kembali ke kamar untuk menikmati koneksi internet karena selama di Sabang, koneksi internet lambat dan sering putus-putus.


Keasyikan nulis dan fesbuk-an , tidak terasa sudah jam dua malam. Badan sudah lelah ditambah perut sudah membesar, biasanya efeknya mata menjadi mengecil. Akhirnya aku memutuskan tidur dengan target bangun se siang mungkin karena hari ini penerbangan aku jam setengah enam sore. Karena telepon tidak dimatikan, telepon membangunkan aku dari tidur jam delapan pagi, urusan kerjaan. Setelah ngobrol dengan rekan kantor akhirnya tidak bs tidur, acara selanjutnya diisi dengan internetan kemudian mandi dan packing kembali.


Pada saat menata barang agar menjadi lebih ringkas baru aku sadar ternyata tripod Ryan kembali hilang. Aku mikir, pasti tertinggal di taxi semalam, setelah menelpon informasi 108 akhirnya aku dapat menghubungi call center Express untuk melaporkan permasalahan aku dan benar barang aku tertinggal di taxi no SA4112. Mereka sangat kooperatif dan aku disarankan untuk mengambil barang tersebut di Ciganjur, yang ternyata cukup jauh dari tempat aku menginap, hampir satu jam dari Menteng menuju pool taxi express tersebut.


Akhirnya tripod Ryan untuk kedua kalinya berhasil aku temukan kembali, pikiran benar-benar tenang sekarang, tidak ada ganjalan lagi. Barang-barang ketika aku berangkat sudah utuh semua. Ketika menunggu pesawat yang akan membawaku pulang ke Balikpapan aku mencoba mencari kalimat yang tepat untuk melukiskan semua pengalaman aku dalam perjalan yang mencerahkan jiwa ini. Perjalanan ku kali ini tepat seperti yang dituliskan Mark Twain...


“Twenty years from now you will be more disappointed by the things you didn’t do than by the ones you did do. So throw off the bowlines, sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.” - Mark Twain


[Tepat pukul 18.15 Wib GA520 lepas landas menuju Balikpapan – The End]



Budget (diluar penginapan di Jakarta):

Tiket Bpp-Jkt-Aceh pp, airport tax : Rp 3.200.000 + Rp 150.000

Penginapan di Iboih selama 2 malam : Rp 500.000

Tip guide selama 3 hari : Rp 400.000

Bensin di Sabang : Rp 70.000

Ongkos Ferry Cepat : Rp 85.000 + Rp 55.000

Konsumsi selama 4 hari : Rp 400.000

Lain2 : Rp 100.000

Hari keempat : Selamat Tinggal Sabang, Selamat Tinggal Banda


Tepat pukul 05.30 Wib alarm handphone ku berbunyi, badan masih terasa lelah karena malam sebelumnya aku baru tidur sekitar jam 1an WIB. Malam terakhir di Iboih aku habiskan dengan mengobrol bersama pengelola Cottage dan rekan-rekan turis local yang semuanya berasal dari Banda Aceh. Ada 4 group turis local yang menginap di Cottage itu dan dua group turis bule. Tentang group local, grup local pertama terdiri dari empat lelaki berasal dari Banda Aceh yang adalah pekerja di pemerintahan propinsi, group kedua terdiri dari 4 orang yang berasal dari Banda dan satu orang dari Medan, group ketiga (semuanya wanita) dua orang dari Aceh dan satu rekannya dari Makassar dan group ke empat sepasang pria dan wanita yang berasal dari kota Lhok Tuan. Malam terakhir aku di Iboih, aku sempatkan mengobrol dengan semua group turis local kecuali yang group ke dua.

Aku kemudian mandi, merapikan tempat tidur dan memeriksa barang bawaan, tidak lama setelah Firman selesai mandi, tepat pukul 06.10 Wib kami pun meninggalkan cottage yang teridiri dari 12 bungalow-bungalow kecil itu. Andy dan Jamal, berdua yang merangkap koki,penerima tamu, office boy, speedboat driver,tukang bersih-bersih kamar,dll masih terlelap tidur, sehingga kunci kamar kami tinggalkan tergantung di pintunya. Aku menyempatkan diri mengambil foto-foto cottage Iboih Inn, kemudian kami pun berjalan meninggalkan cottage menuju tempat parkir motor yang jaraknya 1 Km dari tempat kami menginap. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir aku sempatkan mengambil beberapa gambar, karena pas dari arah timur matahari baru saja keluar.

Waktu menunjukkan pukul 06.50 Wib ketika kami meninggalkan daerah Iboih. Ada perasaan sedih karena kurang lama rasanya bermalam di Iboih. Tujuan kami selanjutnya adalah pelabuhan penyeberangan Balohan Sabang, untuk mengejar kapal ferry cepat yang akan berangkat pukul 08.30 Wib. Firman pengemudi yang cekatan, meski barang bawaan banyak, motor RX Kingnya tetap melaju dengan stabil. Jalanan ke arah Iboih sangat mulus, sehingga membuat perjalanan kami terasa nyaman. Dibeberapa tempat aku meminta Firman berhenti untuk mengambil beberapa gambar kota Sabang untuk terakhir kali. Jalanan yang berkelok-kelok naik dan turun bukit seperti kota Jayapura. Disepanjang perjalanan menuju Balohan pemandangan disebelah kiri adalah laut Lepas. Dari arah bukit, kota Sabang dan daerah Iboih terlihat menawan dari jauh. Perjalanan yang seharusnya 20 menit menjadi hampir satu jam karena kami harus berhenti untuk mengambil foto-foto pemandangan yang menawan itu.

Jam delapan kurang kami sampai di Pelabuhan. Setelah membeli tiket ekonomi ferry cepat seharga 55 ribu rupiah, aku dan Firman kemudian sarapan di warung yang terletak persis di depan pelabuhan, dengan menu sama dengan sarapan dua hari yang lalu, nasi kari, ikan laut dan kopi Aceh. Pukul 08.15, penumpang kapal di panggil melalui announcer. Sebelum bersalaman untuk berpisah, aku menasehatkan Firman yang masih menganggur itu untuk terlibat dalam bisnis wisata di kota ini. Aku yakin apabila wisata dikelola dengan baik, potensi bisnis tersebut untuk berkembang di kota Sabang sangat terbuka lebar, mengingat Sabang memiliki potensi wisata yang besar. Beberapa hari mengenalnya, aku merasa karakter Firman cocok untuk terjun ke bisnis wisata, terutama menjadi instruktur dive karena dia mengenal banyak lokasi snorkel di pulau itu. Kami berpelukan, aku masuk ke kapal tepat pukul 08.30 Kapal ferry berangkat meninggalkan pulau Sabang.

Empat puluh lima menit kemudian, kapal kami sampai di Uleelheu. Yusran, security pak Syamsul yang baik hati terlihat dari kejauhan. Kami pun menuju kantor untuk bertemu dengan Pak Syamsul. Sampai di kantor aku meletakkan tas dikamar pak Syam dan ngobrol sebentar dengan beliau. Atas saran Pak Syam, aku dianjurkan untuk melihat pantai Lhok Nga dan Pantai Lampuuk. Kurang lebih pukul 10.45 aku dan Yusran kemudian berangkat menuju Lhok Nga. Pak Syam tidak bisa menemani karena sedang mengikuti kuliah S2 dan bertepatan hari ini ada ujian yang harus diikuti. Sepanjang perjalanan menuju Lhok Nga disebelah kanan kami terlihat pemandangan pantai yang spektakuler. Air yang biru dan kehijauan, langit yang biru serta buih ombak yang putih menyajikan kombinasi warna yang elok. Garis pantai yang panjang dan jarak antara pantai ke laut cukup jauh membuat pantai-pantai di pesisir barat Aceh ini merupakan salah satu pantai yang paling indah yang pernah aku lihat. Siapa yang menyangka dari pantai yang indah ini, gelombang Tsunami pernah keluar dan meratakan seluruh pemukiman yang jaraknya berkilometer dari garis pantai?

Kata-kata tidak cukup untuk melukiskan keindahan pantai itu, setelah mengambil beberapa gambar didaerah Leupung daerah paling jauh yang kami kunjungi, kami pun kembali kearah Banda Aceh sambil singgah di pantai Lhok Seudu, pantai Lempuuk dan dibeberapa tempat sepanjang perjalanan untuk mengambil foto-foto. Hal yang menarik, jalanan yang dibangun oleh bantuan Amerika Serikat yang kami lalui sangat lebar dan kokoh. Konon menurut isyu yang berkembang di rakyat Aceh, jalan itu sengaja dibuat lebar agar pesawat-pesawat dapat mendarat di jalanan tersebut apabila suatu waktu nanti Aceh menjadi pangkalan militer. Jalanan dibangun melalui bukit-bukit karang yang sengaja dihancurkan dengan menggunakan dinamit, perencanaannya jalannya sangat baik sehingga dari arah jalan, orang dapat menyaksikan pantai dengan lebih baik. Jalanan yang didanai Amerika ini menghubungkan kota Banda Aceh dan Lhoksumawe. Sepintas memang mirip dengan runaway di airport karena lebar dan kokohnya lapisan aspalnya.

Setelah lelah mengambil gambar, tempat yang kami cari selanjutnya adalah rumah makan. Kali ini menunya khas Aceh yaitu Ayam tangkap di Resto Aceh Rayeuk. Tidak salah teman-teman merekomendasikan tempat ini, rasa ayam sampahnya (karena dimasak dengan menggunakan daun2 an seperti sampah) mantap. Setelah makan, tour dilanjutkan didalam kota dengan mengunjungi monumen kapal yang lain di daerah Lampulo. Lokasi kapal ini tidak seperti kapal PLTD yang ramai dikunjungi orang itu. Monumen kapal ini terasa unik karena kapal kayu tersebut tersangkut dilantai dua rumah penduduk. Oleh pemerintah, tanah disekitar situ telah dibeli dan kapal serta rumah tersebut dijadikan monumen. Perjalanan dilanjutkan mengunjungi Museum Tsunami yang megah yang baru diresmikan oleh Pak Presiden. Karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, aku memilih tidak masuk ke Museum, karena harus segera ke kantor untuk mengambil tas dan menuju Bandara dengan Pak Syamsul.

Sebelum pulang, aku tidak dapat menahan diri untuk masuk ke Pemakaman Belanda (Kerkhoff) untuk mengambil beberapa gambar. Makam Kuno selalu menarik perhatian ku, apalagi ini merupakan salah satu cagar budaya. Ada kesedihan yang kurasakan ketika menyaksikan makam-makam orang-orang Belanda atau Jepang. Dimakamkan ditempat yang jauh dari tempat nenek moyangnya, sehingga makam mereka jarang bahkan tidak pernah dikunjungi kerabat dan sanak saudaranya. Sebagai tambahan, Kuburan Kerkhoff, adalah kuburan militer Belanda pada waktu Perang Aceh. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. Kuburan ini masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut. Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.

Tepat di depan makam terdapat lapangan yang merupakan alun-alun kota Banda. Di alun-alun tersebut terdapat monumen pesawat komersial pertama milik Indonesia (Garuda), yang adalah hasil sumbangan penduduk Aceh kepada pemerintah Indonesia.

Setelah membeli kopi Aceh sebagai kenang-kenangan buat sahabat yang menggemari kopi, jam setengah lima sore Pak Syamsul yang baik itu mengantarku menuju Bandara. Sebenarnya tidak enak merepotkan bos yang satu ini, tetapi dia bersikeras untuk mengantarku, mumpung bujang lokal katanya. Perjalanan ke Bandara Sultan Iskandar Muda berjalan dengan lancar, tepat pukul lima kurang lima menit kami berdua sampai di Bandara yang megah itu. Dengan bantuan porter yang aku bayar dua puluh ribu, aku buru-buru check in, karena 30 menit lagi pesawat berangkat. Kurang lebih sepuluh menit proses check-in selesai, aku keluar sebentar pamit ke Pak Syamsul. Ketulusan Pak Haji Syamsul, membuat perjalananku ini semakin berkesan. Selain pemandangan Banda dan Sabang yang menawan, ketulusan sahabat lama Pak Syam dan sahabat-sahabat baru ku yang baru kukenal (ada yang cuma beberapa jam kukenal) membuat perjalananku ke Aceh berakhir dengan fantastik.

Ketika duduk di bangku pesawat, baru badan terasa lelah dan pegal-pegal. Dalam dada perasaan bercampur aduk tidak pasti antara senang dan sedih. Senang karena dapat kembali kerumah, sedih karena harus meninggalkan kota yang luar biasa ini. Satu hal yang pasti, ketika meninggalkan kota ini aku merasa diri menjadi semakin kaya. Kaya akan pengalaman-pengalaman baru dan kaya akan sahabat-sahabat yang baik. Tepat pukul 19.30, kutinggalkan Banda Aceh dengan satu harapan, pada suatu tempo, aku akan kembali ke kota ini!!


Lokasi Yang Dikunjungi :
Pantai Lhok Nga
Pantai Lhok Seudu
Pantai Lempuuk
Monumen Kapal Lampulo
Pelabuhan Lampulo
Museum Tsunami
Makam Belanda Kherkoff
Monumen Garuda
Resto Aceh Rayeuk

Hari ketiga : Snorkeling seharian di Iboih - Sabang


Sesudah mengambil beberapa gambar matahari terbit dan sarapan, tanpa menunggu lebih lama lagi aku dan Firman langsung terjun untuk mengintip dunia bawah air dengan kacamata selam dan sirip kaki. Session pertama dimulai jam 9 pagi dengan tujuan Pulau Rubiah yang jaraknya 400 meter dari penginapan kami.


Sedikit tentang lokasi snorkeling kami sebagai gambaran, daerah tempat kami menginap (Iboih) adalah sebuah teluk yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia. Iboih berada diposisi teluk yang ke barat yang lebih dekat ke Samudera Hindia, sementara Gapang agak ke Timur (bagian yang menjorok kedalam). Gapang dan Iboih adalah lokasi spot snorkel dan dive yang terkenal di Aceh, bahkan Indonesia. Iboih dan Gapang adalah pantai yang masih segaris, di depan Gapang dan Iboih terdapat Pulau yang bernama Rubiah yang terkenal dengan Taman Bawah Laut nya. Dengan adanya Pulau Rubiah, seolah-olah menjadi buffer terhadap arus yang menuju garis pantai di Gapang dan Iboih. Hal ini yang mungkin membuat arus bawah laut di Iboih dan Gapang tidak berbahaya, sehingga aman untuk snorkel dan dive.


Gapang memiliki pantai berpasir sehingga cocok untuk bersantai sedang pantai di Iboih tidak berpasir karena langsung batu-batu besar dan koral-koral karang. Pemerintah Indonesia telah menentukan daerah teluk perairan ini, sekitar 2600 hektar termasuk pulau Rubiah sebagai daerah special nature reserve. Airnya jernih (25 m visibility) laut disini diisi oleh bermacam trumbu karang dan ikan bermacam warna. Disini dapat ditemukan gigantic clams, angel fish, school of parrot fish, lion fish (ikan singa), sea fans, dan banyak lagi. Bagi penggemar snorkel berpengalaman, Octopus (Gurita) dan Stingrays dapat dilihat disini. Tempat ini merupakan surganya turis penggemar snorkel dan selam.Terumbu karang hanya berjarak sekitar 5 meter dari tepi pantai berpasir!!


Dengan menyewa perangkat seharga 45 ribu yang terdiri dari kacamata selam, sirip kaki dan jaket pelampung kami pun berenang menuju Rubiah, ditengah-tengah laut menuju Rubiah, Firman yang telah mengenal lokasi snorkel di Sabang menyarankan agar kami jangan ke ujung pulai Rubiah karena arusnya keras. Karena untuk menuju lokasi snorkel terbaik di Rubiah harus melalui ujung pulau itu, kami pun membatalkan rencana ke Rubiah dan konsentrasi ke koral-koral yang ada ditepi Iboih yang jaraknya hanya beberapa meter dari pantai.


Dibawah terumbu karangnya dan koralnya berukuran besar. Aku tidak tahu namanya, yang jelas ada yang bentuknya seperti otak manusia. Sepanjang pantai terdapat koral dan karang. Beberapa karang dan koral sudah mati yang ditandai dengan rontoknya terumbu-terumbu karang dan warna koral yang sudah berwarna abu-abu pucat seperti abu rokok. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak terdapat rumput laut yang bentuknya seperti karpet tebal dengan bulu-bulu panjang, tempat ikan badut Nemo mencari makan dan berbaring seolah-olah tidur !!! Setiap terdapat biota laut berbentuk karpet tebal itu pasti terdapat ikan badut (clown fish). Cuma yang benar-benar seperti nemo dengan warna orange dan strip putih sangat jarang. Aku Cuma bertemu sekali, yang banyak ikan badut dengan strip hitam dan orange (bukan putih orange).


Ikan favorit aku karena warnanya paling mencolok adalah ikan taji-taji (bahasa Sabang), badannya berwarna biru langit, sirip bawah berwarna putih salju, sirip atas berwarna kuning cerah dan mata seperti menggunakan kacamata pelindung dengan helm berwarna hitam. Yang menarik ekornya berwarna putih dan dengan bingkai hitam mengililingi warna putih itu! Indah sekali dan jumlahnya sangat banyak hampir disepanjang pesisir Iboih ada ikan ini. Ikan kedua yang aku suka adalah ikan layar bercorak dominan kuning dengan strip hitam dengan bentuk badan pipih dan tatapan mata memelas (tampangnya sedih) serta ada sirip yang panjang dibagian atas tubuhnya seolah-olah berbentuk kapal layar. Ada juga ikan Jabung yang konon ketika beranak jangan didekati karena dia akan menyerang kita. Giginya tajam dan dapat memutuskan jari kalo tergigit. Yang menarik dari ikan Jabung gaya berenangnya seperti orang mabuk, miring tidak tegak seperti ikan normal, kebanyakan miring ke kiri, mungkin karena siripnya pendek sebelah hehehe....


Ikan lain yang menarik adalah ikan janggut yang ketika berenang janggutnya seperti sirip yang lemah, tetapi ketika mendekati dasar pasir, tiba seperti jari yang menjalar menyibak pasir mencari karang-karang atau biota laut yang kecil untuk dimakan. Ada juga ikan singa yang selalu bersembunyi dibalik batu karang, ada lobster yang bentuknya mengerikan seperti Alien, Gurita yang ketika menempel di karang tidak kelihatan karena warnanya tiba2 berubah seperti warna karang. Firman yang terbiasa menyelam mengenal gurita dan menangkapnya, yang terjadi kemudian gurita itu menyemprotkan tintanya sehingga air berwarna hitam. Banyak sekali jenis ikan yang aku pun lupa bentuknya seperti apa. Semoga ikan-ikan yang tidak disebutkan namanya tidak tersinggung :-)


Kalau aku perhatikan ikan pun seperti orang, ada yang lasak (tidak bisa diam) yang kerjanya mengganggu ikan lainnya. Ada yang berprofesi seperti tim penyapu jalanan yang berbaris dalam kelompok-kelompok bergerak perlahan-lahan menghisap terumbu-terumbu karang. Sekelompok ikan kecil yang lain seperti segerombolan anak sekolah yang sedang tour guide tapi tanpa didampingi orang dewasa. Ada juga ikan yang pemalu yang selalu bersembunyi dibalik batu karang dan yang menarik ada ikan yang seperti sedang kasmaran karena kemana-mana selalu berdua!!


Istirahat sebentar untuk makan dan siang ketika tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Tiga jam didalam air tidak terasa, tepat pukul 1 siang kami kembali ke air sampai jam 3 sore menyusuri pantai ke arah teluk bagian dalam. Istirahat sebentar karena Firman harus segera pulang ke kota Sabang untuk mendampingi tim asuhannya untuk bertanding volley. Rencana awal hari ini aku menginap di kota Sabang, tetapi karena ketagihan dan sudah dekat dengan Andy Saragih dan Jamal pengelola Cottage Iboih Inn, aku memutuskan kembali menginap di Iboih dengan catatan besok jam 6 pagi harus segera berangkat ke Sabang agar tidak ketinggalan Ferry cepat.


Setelah beristirahat kurang lebih sejam, aku kembali snorkel. Kali ini benar-benar sendiri, karena Firman sudah kembali ke Sabang, teman-teman se penginapan lainnya memilih berperahu ke Pulau Rubiah. Kali ini tujuan ku ujung daerah Iboih yang katanya lebih dalam dan agak berarus. Awalnya takut karena biar bagaimanapun aku tidak mengerti perilaku arus didaerah ini dan mahluk apa saja yang harus dihindari. Snorkling sendirian itu aku menduga-duga mahluk apa yang muncul ketika pandangan di air memasuki jarak pandang. Harapan aku sih didepan aku tidak tiba-tiba muncul ubur-ubur, hiu dan ular laut. Ujung Iboih dapat dicapai dengan terengah-engah, balik ke basecamp tentu perjuangan lagi karena harus berenang sekitar 500 an meter.


Pemandangan dibawah tetap indah sampai ke ujung Iboih, kegiatan hari ini benar-benar full snorkeling dari jam 9 sampai jam 5 sore. Makan malam di daerah Gapang, malam terakhir aku menghabiskan waktu mengobrol dengan rekan-rekan satu penginapan yang adalah turis lokal dan Pengelola cottage Iboih Inn. Kami bertukar email, mengambil beberapa gambar dan berjanji untuk bertemu lagi di dunia facebook untuk bertukar kabar dan mungkin bersama-sama merencanakan perjalanan mengejar sepotong sorga di tempat yang lain....


Lokasi Yang Dikunjungi :

Koral Sepanjanga Pantai Iboih


Catatan:


Tempat menginap: Iboih inn,

Harga : Rp 250 ribu (include FB)

Penjaga : Andy Saragih & Jamal

Keramahan : top and friendly

Telp : 0811841570

Email : iboih.inn@gmail.com

Waktu terbaik : tanggal 10-15 setiap bulan (Purnama)

Hari kedua : Mengejar Senja di Ujung paling Barat Daratan Indonesia


Transportasi dari Banda Aceh ke Sabang menggunakan Ferry, yang teridiri dari 2 jenis kapal. Yang pertama adalah ferry biasa dan yang kedua adalah ferry cepat. Kapal Ferry biasa waktu tempuhnya sekitar 2 jam, sedangkan ferry cepat, waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Tepat pukul 09,00 Wib aku diantar oleh petugas satuan pengamanan kantor bernama Yusran menuju pelabuhan ferry Uleelheue. Pelabuhan menurut cerita rekan-rekan yang tinggal di Aceh, telah bergeser dua ratus meter menuju daratan dari garis pantai sebelumnya. Pelabuhannya sendiri baru selesai dibangun dan terasa megah dan indah untuk ukuran pelabuhan penyeberangan. Jika aku bandingkan dengan bandara international Juwata Tarakan, pelabuhan fery Uleelhee jelas lebih megah. Mungkin dibandingkan sebagian besar airport propinsi di Indonesia, pelabuhan penyeberangan ferry Uleelhee jauh lebih bagus. Tepat jam 09.30 Kapal ferry cepat Pulorondo berangkat menuju pelabuhan Balohan Sabang. Dengan alasan kenyamanan dan karena malam sebelumnya aku tidak keluar biaya untuk penginapan, aku memilih membeli tiket VIP dengan harga Rp 85.000,-

Dalam perjalanan menuju Sabang, aku menyempatkan diri untuk melakukan perbaikan penilaian Sasaran Kerja Individu dari kantor yang kebetulan hari Jumat tanggal 27 Maret ini adalah hari terakhir. Karena disibukkan dengan urusan kantor, aku kurang memperhatikan rekan seperjalananku. Aku baru memperhatikannya ketika dia dalam pembicaraan ditelepon dengan rekannya menyebut-nyebut kota Merauke sementara kami sedang dalam perjalanan menuju kota Sabang!!

Namanya Pak Hendro, pria berusia 59 tahun tamatan planologi ITB ini adalah kontraktor yang mengerjakan project konstruksi dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan saat ini sedang mengerjakan project di Sabang dan dalam beberapa waktu mendatang akan mengerjakan project pembuatan jalan di Merauke. Pembicaraan awal kami tidak lama karena kapal sudah keburu merapat di Balohan Sabang. Pak Hendro menanyakan apakah aku ada kendaraan, ketika aku menjawab tidak dia lalu menawarkan tumpangan dengan taxi langgannya. Kami singgah sebentar di salah satu kantor Dinas kota Sabang dimana pak Hendro memasukkan berkas tendernya kemudian menuju tepi pantai untuk makan siang. Menu makan siang hari ini, ikan teri basah goreng, ikan tongkol, tempe, sambal goreng, sayur santan serta es kopi hitam. Warung kecil yang murah serta masakan yang membangkitkan selera. Makan enak dan gratis, what a lovely day...

Setelah menyelesaikan makan siang dan bertukar nomor handphone, Pak Hendro mengantar aku menuju kantor Telkom Sabang di Jalan Tengku Hamzah. Aku sudah janji ketemu teman kantor, Pak Erwin dan Pak Mawi yang aku kenal dari buku database nomor telepon karyawan. Kami sudah melakukan kontak email sejak tahun 2007 yang lalu. Sehari sebelum berangkat aku sudah memberitahukan mereka berdua bahwa aku akan ke Sabang, dan mereka menyarankan setibanya di kota Sabang agar langsung menuju kantor.

Sambutan Pak Erwin dan Pak Mawi ramah. Mereka berdua menawarkan untuk ditemani karyawan lainnya mengantar aku menuju Gapang dan Iboih. Pak Erwin menyarankan agar menghabiskan waktu hari ini di kota Sabang kemudian keesokan harinya menginap di Gapang atau Iboih. Aku menyetujuinya, kemudian dengan ditemani salah satu staff Pak Erwin yang bernama Maman, kami menggunakan RX King melaju menuju spot-spot menarik di Kota Sabang dengan tujuan utama Benteng Jepang dan Sumur Tiga. Dalam perjalanan kami menuju Benteng Jepang, aku meminta Maman berhenti karena ada beberapa bangunan peninggalan Belanda yang masih bagus di daerah kota atas. Aku selalu tertarik mengabadikan bangunan peninggalan Belanda. Setelah mengambil beberapa gambar, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Benteng Jepang dam Sumur Tiga.

Langit kembali biru sesudah satu jam sebelumnya kota Sabang di dera hujan deras. Pemandangan pantai di depan Benteng Jepang menentramkan hati. Langit yang tenang dengan langit yang biru sungguh perpaduan yang Indah ! Ketika kami sampai di daerah itu, dari atas langsung terlihat pemandangan air laut dengan tiga warna : kehijauan, biru muda dan biru gelap !! Hampir satu jam aku menikmati pantai dan mengambil gambar-gambar, kemudian kami menuju Pasir Tiga. Setelah memotret pasir putih dan batu-batu karang di Sumur Tiga kami pun kembali menuju kota Sabang. Diperjalanan aku memutuskan untuk menginap di Gapang/Iboih karena waktuku Cuma dua hari di Pulau Sabang dan menawarkan Maman untuk menemaniku bermalam disana dan Maman pun setuju!

Bagian paling Barat kota Sabang memiliki tiga tempat wisata yang wajib dikunjungi karena searah. Yang pertama kali ketemu adalah daerah Gapang, pantai dan lokasi Diving kemudian pantai Iboih, sama dengan Gapang, merupakan tempat Diving dan snorkeling dan yang paling Barat adalah Kilometer Nol. Titik yang dianggap awal pengukuran kilometer negara Republik Indonesia. Dengan dua ransel besar kami pun memacu RX King menuju daerah yang paling jauh, untuk mengejar sepotong senja di daratan paling barat Indonesia.

Sampai di Tugu Km O, masih jam 17.00 lewat. Matahari masih terik, kami lalu mengambil beberapa foto di dalam Tugu Km. Ketika matahari semakin rendah, sekitar setengah tujuh kami pun duduk diatas batu yang terletak diluar pagar jalan raya disisi jurang yang menghadap pantai lepas Samudera Hindia. Ketika Matahari benar-benar tenggelam sekitar jam tujuh kurang seperempat, keheningan dan lukisan cahaya dilangit membuat hati terasa damai. Ada perasaan meluap di dada. Berada di daerah paling barat di Indonesia, dibibir jurang yang menghadap ke laut lepas dimana langit dan awan berwarna merah. Sungguh aku merasa beruntung karena alam bermurah hati menunjukkan keindahannya pada hari ini, padahal beberapa saat sebelumnya langit ditutupi awan dan hujan turun cukup deras. Senja dititik paling barat Republik ini adalah salah satu senja terbaik yang pernah aku ingat!

Tidak heran Anatoli dari Jerman yang mantan karyawan National Geographic dan Luca lelaki Italy yang menikahi wanita Aceh selalu datang ke Tugu Km 0 untuk menikmati sepotong senja yang indah ini. Kami berempat sama-sama menikmati masuknya mentari ke Peraduan sambil bertukar cerita tentang travelling dan lokasi dive di Indonesia. Tepat pukul 19.20 kami meninggalkan Tugu Km 0, di Barat langit masih merah meski sudah gelap, tapi kami harus segera menuju Gapang karena kami belum memutuskan akan menginap dimana!!

Maman menawarkan menginap di Gapang dengan alasan lebih ramai, aku menawarkan untuk melihat pantai Iboih terlebih dahulu sebelum ke Gapang. Setelah menyantap mie Aceh yang rasanya biasa-biasa saja di warung di tepi pantai Iboih, kemudian kami memutuskan untuk melihat kamar-kamar cottage yang ada di Iboih. Penginapan agak unik karena untuk menuju penginapan tersebut kami harus berjalan kurang lebih 1 Kilometer karena motor tidak diperkenankan masuk ke lokasi tersebut. Jalan yang ada hanya jalan setapak yang telah di paving, tanpa lampu dan kami hanya mengandalkan cahaya handphone agar tidak terjerembab karena tangga turun, tangga naik atau tersandung akar pohon. Setelah menanya kebeberapa penduduk, untuk mendapat penginapan yang cukup representatif, kami dianjurkan menuju Penginapan Iboih Inn, cottage paling bagus di pantai Iboih. Setelah sampai di Iboih Inn, aku meminta untuk melihat kamarnya. Hanya Fan dan dua buah ranjang dengan waktu check in sudah menunjukkan pukul 9 malam kami dikenai biaya 250 ribu rupiah. Setelah tawar menawar yang cukup alot, akhirnya Saragih(kenapa pulak ada orang Batak di daerah terpencil ini hehehe) si recepsionist merangkap Koki menyetujui harga penginapan satu malam Rp 175.000 dengan catatan tanpa Sarapan pagi. Kami berdua sepakat, Aku dan Maman menuju kekamar No 7. Didepan teras kamar, aku memandang ke langit, diatas bintang terasa dekat karena tidak ada polusi cahaya, debur ombak, suara jangkrik dan petikan gitar Blues Clapton dalam album Me and Mr Johnson, rasa-rasanya aku tidak ingin malam ini cepat berlalu.

Hari kedua pun dilalui dengan luar biasa....

Iboih, 28 Mar -09, 00.12 Wib

Lokasi Yang Dikunjungi :
Pelabuhan Uleelheue
Pelabuhan Balohan
Kota Atas Sabang
Benteng Jepang Sabang
Sumur Tiga Sabang
Tugu Km 0 Sabang
Pantai Iboih Sabang
Penginapan Iboih Inn

Foto :
Pantai Sumur Tiga Banda Aceh
Senja di Km 0

Hari Pertama : Banda Aceh, aku tiba …


Kisah ini merupakan perjalan Lima hari ku (tanggal 26-30 Maret 2009) yang lalu.

Saat berangkat dari Jakarta, aku baru sadar tripod yang aku pinjam dari Ryan tertinggal dipesawat dari Balikpapan. Sebenarnya sehari sebelumnya aku sempat membatin, untuk tidak membawa tripod itu karena takut ketinggalan. Alasannya sederhana, karena barang itu bukan milik aku, ada kemungkinan akan tertinggal karena lupa untuk menentengnya, biasanya perlu penyesuain agar aku menganggap barang itu selalu ada disekitar aku. Dalam pesawat menuju Medan aku hanya berpikir, mudah-mudahan ini bukan awal yang buruk dalam perjalananku, sambil berusaha mengingat kesalahan apa yang aku telah buat sebelum-sebelumnya sebelum memulai perjalanan ini! (Sorry Ryan, tripodnya ketinggalan, kemarin sudah hubungi Garuda ground staff biar tripodnya ditracking).

Perjalanan ke Medan berjalan lancar, setelah singgah beberapa menit di Medan perjalanan pun dilanjutkan menuju Banda Aceh. Kurang lebih 1 jam (aku tidak ingat pasti) sekitar pukul 16.45 WIB akhirnya pesawat mendarat dengan mulus. Bandara Iskandar Muda ternyata dalam proses renovasi, satu hal yang membuat kagum ternyata Bandara nya bagus. Lebih indah dari Bandara Sepinggan Balikpapan. Dengan bentuk bangunan Kubah yang mencirikan daerah dengan tradisi Islam yang kuat serta runaway yang bagus, rasanya mendarat di negara lain ketika mendarat di Iskandar Muda. Menunggu bagasi beberapa menit kemudian keluar untuk menunggu jemputan seorang kawan lama, mantan pejuang transmisi Kalimantan!

Lebih kurang menunggu 30 menit, akhirnya Pak Syamsul Bahri datang. Beliau kaget dan tidak percaya awalnya ketika sehari sebelumnya aku mengirim surat elektronik mengabarkan rencanaku ke Banda Aceh. Kami bertukar cerita sepanjang perjalanan ke kota yang konon jauhnya belasan kilometer dari Bandara. Setelah berjalan kurang lebih 20 an menit kami sampai di Warung Sop Sumsum Langsa, salah satu lokasi kuliner yang terkenal di Banda Aceh kata beliau. Setelah bersantap sumsum yang benar-benar nikmat itu, kemudian Pak Syamsul membawaku keliling Banda Aceh melewati beberapa landmark kota Banda Aceh, diantaranya Masjid Raya Baiturahman, Kuburan Masal di Ulelhee, Monumen Kapal PLTD yang terdampar ke daratan sejauh 4 Km dari laut dan Pantai Ulelhee asal Tsunami yang sore itu terlihat indah dan menawan. City Tour hari pertama ditutup dengan acara kunjungan ke kedai Kopi yang terkenal di Banda, di Jalan Uleekareng. Dengan di guide oleh boss, antar jemput, keliling kota, makan dan penginapan yang semuanya gratis, suatu awal yang baik sekali di hari pertama, setelah insiden kehilangan tripod diawal perjalanan.

Lokasi Yang Dikunjungi :
Warong Sop Sumsum Langsa
Pantai Uleelheue
Monumen Kapal PLTD
Kedai Kopi Uleekareng

Prologue : Indonesia My Lovely Country (Lirik lagu Panbers)


Lahir dan menghabiskan masa belia di Irian Jaya membuat aku lebih mengenal Indonesia dan keindonesiaan lebih awal dibandingkan sebagian teman-temanku. Ketika rekan-rekan dibagian Indonesia lain membayangkan Indonesia itu luas dari cerita, lagu-lagu dan acara TVRI aku sendiri sudah merasakan bagaiamana jauhnya tempat aku lahir di Irian dan asal kedua orang tua ku di Sumatera, melalui perjalanan yang aku ikuti ketika pulang pada tahun 1978/1979 ataupun memandang Peta dalam pelajaran ketika sekolah dasar dulu.


Keindonesiaan, karena kota yang aku tempati di Papua adalah kota yang benar-benar heterogen. Hampir semua suku dari berbagai pulau besar di Indonesia ada dikotaku. Orang Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku dan Irian, sama-sama tinggal disana. Setelah aku sedikit besar baru aku merasakan manfaatnya menggunakan bahasa Indonesia untuk komunitas yang heterogen, itu pun setelah aku mengunjungi beberapa daerah di Sumatera dan (terutama) Jawa dimana aku mendapati banyak orang-orang tua yang sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia. Hal yang jarang ditemui di Irian Jaya mulai daerah pesisir sampai pedalaman, karena semua berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.


Lahir dan besar di daerah dimana aku menjadi minoritas karena kesukuan dan mayoritas karena agama, membuat aku sejak kecil sudah merasakan bagaimana friksi atau pelecehan sara seperti itu hanya membuat perasaan membenci yang tidak ada manfaatnya. Dari kecil pula aku sadar bahwa persoalan sara itu timbul semata-mata karena kecemburuan ekonomi. Dulu, hal tersebut seingat aku tidak pernah menimbulkan huru-hara karena adanya instrumen pemerintah yang menjaga agar tidak sampai timbul pertikaian. Sayangnya sekarang hal seperti itu kerap menimbulkan jatuhnya korban jiwa :(


Membayangkan luasnya Indonesia, sejak kecil pula ada keinginan apabila dewasa kelak ingin berkunjung kedaerah-daerah lain diantaranya Timor-timor dan Banda Aceh. Kenapa Timor-timor, karena ini adalah daerah yang paling akhir bergabung dengan Indonesia dan masih kuat pengaruh budaya Portugisnya. Budaya, perilaku orang, peninggalan sejarah serta aktivitas penduduknya membuat aku ingin melihat dari dekat wilayah Timtim. Aku juga membayangkan karakteristik orang Timtim seperti orang Irian,dimana sebagian dari penduduknya merasa belum benar-benar menyatu dengan Indonesia, yang membuat aku merasa Timtim seperti Irian kedua. Tetapi sayang kesempatan berkunjung tersebut tidak jadi karena Timtim lebih dahulu memisahkan diri dari Indonesia. Sedangkan Aceh, kenapa aku ingin mengunjunginya tidak lain dan tidak bukan karena ini adalah Provinsi paling Barat di Indonesia! Aku lahir dan besar di Provinsi paling Timur dan aku ingin mengunjungi provinsi paling barat. Ada semacam perasaan didalam hati apabila aku belum mengunjungi Aceh, aku belum mengunjungi seluruh Indonesia. Padahal ada satu pulau besar lagi yang belum aku kunjungi, yaitu Nusa Tenggara, tetapi keinginan untuk melihat Aceh lebih kuat, apalagi ditambah catatan sejarah Bangsa besar ini dan kesepakatan damai yang telah dicapai antara mereka yang memilih Aceh merdeka dan pemerintah Indonesia baru-baru ini membuat keinginan ke sana semakin besar.


Akhirnya kesempatan bisa pergi ke Aceh itu datang, rencana sebenarnya telah diatur sejak dua tahun yang lalu, tetapi karena waktu cuti yang terbatas dan ongkos yang mahal akhirnya baru terealisasi akhir Maret 2009 ini. Aku hanya berpikir bahwa kesempatan kadang datang Cuma sekali. Ketika ada waktu dan mood lagi bagus, kenapa tidak dijalani. Uang dapat dicari, tetapi waktu dan mood kadang tidak bisa di duga datangnya kapan! Indonesia, aku bangga punya tanah air seindah ini!!


[Beberapa anak-anak ketika disuruh menyanyikan lagu dari Sabang sampai Merauke seperti ini :”Dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Ke Talaud....Indonesia tanah airku, Indomie seleraku........”



Hehehe seharusnya seperti ini:


”Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau.... Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia....Indonesia tanah airku, aku berjani padamu......
Menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia....]