Saturday, April 12, 2008

Kisah Vitus, Mozart dan Sufiah




Sepulang dari Blue sky, aku merasa tiba-tiba ingin menulis. Menulis hal yang berlainan dengan apa yang kusaksikan beberapa waktu sebelumnya di Blue Sky. Cerita nya tentang tragedy anak-anak jenius..

Vitus seorang bocah yang seakan-akan berasal dari planet lain dilingkungannya, punya pendengaran seperti kelelawar, bermain piano layaknya seorang virtuoso dan melahap ensiklopedi pada usia 5 tahun. Tidak heran orangtuanya mengharapkan dan mengarahkan kelak masa depannya akan cerah. Orang tua menganggap lebih tahu apa yang terbaik buat Vitus, sehingga waktunya dihabiskan dengan jadwal kursus piano yang ketat, kuliah di Universitas, dipaksa melakukan keinginan orangtuanya agar dikagumi teman-teman orang tuanya, padahal tubuh dan pikirannya adalah anak 12 tahun yang kebetulan dikarunia kecerdasan rata-rata. Yang terjadi adalah pemberontakan.

Wolfgang Amadeus Mozart juga adalah seorang jenius musik yang pernah lahir. Dikarunia intelejensia yang tinggi dan ayah bernama Leopold yang rajin dalam mengajarinya bermain biola sejak kecil. Usia 5 tahun telah menciptakan sebuah komposisi pendek . Tidak seperti Vitus, Mozart sepertinya menikmati didikan ayahnya, Menjadi terkenal dan kaya, tetapi ada yang terjadi adalah dia terlalu cepat dewasa dan terkenal. Yang terjadi adalah dia cepat menghilang, karena sakit dan mengalami kesulitan keuangan diusia 35 tahun, Mozart pun meninggal dan dimakamkan secara sederhana. Tragis kisah sang Maestro yang diakhir hidupnya tidak mendapatkan penghargaan selayaknya.

Awalnya segalanya seperti sempurna buat Sufiah Yusuf . Ayahnya Farooq Yusuf, adalah guru matematika jenius berdarah Pakistan berkewarganegaraan Malaysia. Dengan didikan keras dan metoda teknik belajar yang dipercepat, dia berhasil membuat putrinya yang jenius, Sufiah berhasil masuk St. Hilda College, Universitas Oxford setelah berhasil lolos ujian matematika tingkat A pada usia 12 tahun ! Ini membuat Sufiah menjadi terkenal diseantero Malaysia bahkan Inggris. Apa yang terjadi kemudian adalah pemberontakan. Dia memilih tidak melanjutkan kuliah dan menikah muda. Inggris dan Malaysia pun heboh, diusia 23 tahun dia menjadi pelacur dengan bayaran 2,4 juta per jam. Mungkin salah seorang pelacur jenius yang pernah hidup.

Banyak cerita tentang anak jenius yang ketika dewasa menjadi seseorang yang bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan orang-orang sebelumnya. Yang seharusnya berhasil dan kaya raya dengan kepintaran yang dimiliki, berakhir tragis karena depresi yang tekanan lingkungan yang tidak dapat ditanggungnya.

Mungkin karena dia harus tampil dan menjadi seperti apa yang diharapkan orang tua dan lingkungan. Tekanan untuk lebih dan lebih membuat sianak tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi apa yang orang tua dan lingkungan inginkan. Sama seperti badut yang dipaksa terus melucu, meski saat itu hatinya sedang berduka, karena sang anak dianggap sebagai object tontonan yang harus memuaskan lingkungan dan orangtuanya.

Dalam dunia orang dewasa pun kita mengalami hal demikian. Kita sering tidak dapat atau kurang berani menjadi diri kita. Kita lebih suka menjadi apa yang lingkungan inginkan, meski itu bertentangan dengan keinginan kita. Semoga kita tidak menjadi depresi karenanya. Sayang, diusia yang Cuma 60 sampai 80 tahun, yang rasanya terlalu singkat dibandingkan usia bumi misalnya, kita disibukkan oleh tekanan social yang bisa kita hindari ?